Jakarta (Antaranews Bali) - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Optimalisasi Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) meminta pemerintah untuk menggunakan Dana Reboisasi (DR) membiayai Perhutanan Sosial.

"Dana Reboisasi banyak mengendap di kabupaten/kota karena tidak terserap mengingat peraturan untuk memperoleh dana untuk rehabilitasi hutan dan lahan kritis ini sangat ketat. Sementara kondisi di kabupaten/kota jarang ada lahan kritis, atau lebih tepatnya karena (hutan dan lahan tersebut) sudah ada izin konsesi," kata Peneliti Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Bejo Untung di Jakarta.

Kondisi penyerapan anggaran yang sama, menurut dia, juga terjadi di tingkat provinsi, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi hanya memperbolehkan dana ini digunakan untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).

"Buat kami (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Optimalisasi DBH DR) ini (DR) sumber fiskal potensial untuk mengakselerasi program prioritas Perhutanan Sosial yang sedang dijalankan pemerintah," lanjutnya.

Apalagi dari target 12,7 juta hektare (ha) Perhutanan Sosial baru sekitar 16,8 persen saja atau 2,13 juta ha yang tercapai. Karena itu, ia mengatakan, koalisi mengusulkan agar pemerintah segera memperluas penggunaan DBH DR agar bisa digunakan untuk pembiayaan Perhutanan Sosial dengan menempatkannya dalam revisi PP Dana Reboisasi.

Lebih lanjut Bejo mengatakan lemahnya kebijakan, pendanaan dan perencanaan membuat pencapaian target Perhutanan Sosial masih berjalan lambat.

Menurut Peneliti politik anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, berdasarkan data dari Ditjen Perimbangqn Keuangan Kementerian Keuangan (Kemkeu) menunjukkan masih ada DBH DR sebesar Rp4,5 triliun yang masih tersisa di kabupaten/kota, serta Rp292 miliar di Pemerintah Provinsi (Pemprov).

Tidak hanya itu, ia mengatakan ada pula Rp4,5 triliun dana dari Rekening Pembangunan Hutan (RPH) yang sejak 2007 hingga 2017 belum termanfaatkan. Dana-dana tersebut bisa saja dialihkan untuk mengakselerasi pencapaian Perhutanan Sosial.

Berdasarkan penelitian yang telah koalisi lakukan, ia menyebut kebutuhan untuk akses perizinan Perhutanan Sosial serta pengembangan usaha kawasan hutan seluas 12,7 juta ha membutuhkan dana Rp324.000 per hektare, atau sekitar Rp800 miliar per tahun.

Menurut dia, pendekatan yang digunakan untuk mengetahui angka tersebut diperoleh berdasarkan pendampingan yang dilakukan teman-teman masyarakat sipil di Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, NTB dan Sulawesi Tenggara pada 2017.

"Perhitungannya dikombinasikan dengan pendampingan ke masyarakat," katanya.

Berdasarkan dari beberapa penelitian yang pihaknya lakukan, ia mengatakan banyak hal yang menunjukkan betapa mendesaknya perluasan pemanfaatan DR ini.

Hal itu karena skema penggunaan DR selama ini baik 60 persen yang berada di Pemerintah Pusat atau 40 persen di Pemerintah Daerah justru menghambat target reboisasi hutan dan lahan.

Dari progresnya, menurut dia, penurunan luasan lahan kritis mengalami stagnasi. Maka di 2017, tidak heran ada sindirian Presiden Joko Widodo ke Kementerian terkait yang cukup tajam soal penurunan luasan lahan kritis tersebut.

Pada pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa RHL dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan.

Karenanya RHL yang menggunakan DR bagian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus untuk rehabilitasi hutan dan lahan; penyiapan dan pengembangan Perhutanan Sosial; dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Baca juga: Menteri LHK mengajak kalangan dunia usaha terkait skema Perhutanan Sosial
Baca juga: Pemerintah akselerasi pencapaian perhutanan sosial
 
(AL)

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018