Denpasar (Antaranews Bali) - Garapan bertajuk "Somi Gingsul" yang dibawakan Sanggar Loka Semara Santhi dari Desa Sidan, Kabupaten Gianyar, ingin menyampaikan pesan tentang kesenian Bondres yang inovatif sekaligus edukatif.
"Kami harapkan, setelah pulang ada pesan yang bisa diingat juga. Jadi, semoga tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi," kata Pande Putu Yogi Arista Pratama sebagai salah satu pembina Sanggar Loka Semara Santhi di Denpasar, Rabu.
Meskipun masih menempuh pendidikan Strata-1 di ISI Denpasar yang mengambil jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik semester 7, tetapi Yogi Arista mendapat panggilan hati menjadi pembina khususnya pembina tari. "Saya ingin membagi ilmu yang saya dapatkan, agar ada regenerasi," ucapnya belum lama ini usai pementasan di Taman Budaya Denpasar dalam gelaran Bali Mandara Nawanatya III itu.
"Kenapa kami mengambil judul seperti itu karena di era seperti ini perlu kita ketahui bahwa ada banyak kekacauan persawahan tentunya di Bali yang kian hari diincar investor. Kami memberi pesan kepada masyarakat khususnya krama Bali agar senantiasa menjaga lingkungan dan tradisi," ujar Yogi.
Dikisahkan "Somi" yang merupakan bekas dari padi yang sudah lepas pun dalam cerita bondres akhirnya menjadi sebuah kerajinan berupa barong yang mampu mengubah pikiran para investor. Ketika barong dari somi itu sudah terbentuk nanti investor mulai mengerti bahwa inilah Bali.
"Bali ternyata bukan semata-mata apa yang dilihat itu yang langsung dijual tapi kreativitas orang Bali jauh lebih mahal harga jualnya," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut dia, menjual tanah nenek moyang terdahulu bukanlah langkah yang tepat untuk mendapatkan rupiah dengan cepat.
Justru dengan adanya pelestarian akan membangkitkan budaya Bali dan justru menambahkan rupiah. Sanggar yang telah berdiri sejak tahun 2015 ini meramu anak-anak muda dalam keanggotaannya sebagai bentuk dari adanya regenerasi seniman Bali khususnya di wilayah Desa Sidan, Gianyar.
Menurut penuturan sang ketua sanggar, Agus Susanto dalam perjalanannya Sanggar Loka Semara Santhi didalamnya telah mempelajari berbagai kesenian di Bali.
"Kesenian lain ada seperti Calonarang, Prembon, tari lepas, dan biasanya ada kayak turis datang ke Stage Sidan dan menampilkan semi Calonarang," ucap Agus.
Untuk pementasan yang berlangsung di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya Denpasar itu, dia mengungkapkan dana penggarapan yang senilai Rp15 jutaberasal dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan dana hibah dari desa,sehingga dana tersebut cukup menunjang garapan agar dapat tampil maksimal dalam Bali Mandara Nawanatya III.
Dalam garapan ini, tak hanya sebuah pesan yang mengedukasi diharapkan oleh Agus dan Yogi. Sebagai seorang seniman yang bernaung di wilayah Gianyar Timur, keduanya berharap dengan keberadaan Sanggar Semara Loka Santhi dapat membangkitkan semangat berkesenian yang selama ini hanya dikenal di wilayah Gianyar Barat. Dengan demikian pecut berkesenian pun dapat digenggam oleh para seniman dari seluruh Bali dengan misi yang dipegang masing-masing. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kami harapkan, setelah pulang ada pesan yang bisa diingat juga. Jadi, semoga tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi," kata Pande Putu Yogi Arista Pratama sebagai salah satu pembina Sanggar Loka Semara Santhi di Denpasar, Rabu.
Meskipun masih menempuh pendidikan Strata-1 di ISI Denpasar yang mengambil jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik semester 7, tetapi Yogi Arista mendapat panggilan hati menjadi pembina khususnya pembina tari. "Saya ingin membagi ilmu yang saya dapatkan, agar ada regenerasi," ucapnya belum lama ini usai pementasan di Taman Budaya Denpasar dalam gelaran Bali Mandara Nawanatya III itu.
"Kenapa kami mengambil judul seperti itu karena di era seperti ini perlu kita ketahui bahwa ada banyak kekacauan persawahan tentunya di Bali yang kian hari diincar investor. Kami memberi pesan kepada masyarakat khususnya krama Bali agar senantiasa menjaga lingkungan dan tradisi," ujar Yogi.
Dikisahkan "Somi" yang merupakan bekas dari padi yang sudah lepas pun dalam cerita bondres akhirnya menjadi sebuah kerajinan berupa barong yang mampu mengubah pikiran para investor. Ketika barong dari somi itu sudah terbentuk nanti investor mulai mengerti bahwa inilah Bali.
"Bali ternyata bukan semata-mata apa yang dilihat itu yang langsung dijual tapi kreativitas orang Bali jauh lebih mahal harga jualnya," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut dia, menjual tanah nenek moyang terdahulu bukanlah langkah yang tepat untuk mendapatkan rupiah dengan cepat.
Justru dengan adanya pelestarian akan membangkitkan budaya Bali dan justru menambahkan rupiah. Sanggar yang telah berdiri sejak tahun 2015 ini meramu anak-anak muda dalam keanggotaannya sebagai bentuk dari adanya regenerasi seniman Bali khususnya di wilayah Desa Sidan, Gianyar.
Menurut penuturan sang ketua sanggar, Agus Susanto dalam perjalanannya Sanggar Loka Semara Santhi didalamnya telah mempelajari berbagai kesenian di Bali.
"Kesenian lain ada seperti Calonarang, Prembon, tari lepas, dan biasanya ada kayak turis datang ke Stage Sidan dan menampilkan semi Calonarang," ucap Agus.
Untuk pementasan yang berlangsung di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya Denpasar itu, dia mengungkapkan dana penggarapan yang senilai Rp15 jutaberasal dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan dana hibah dari desa,sehingga dana tersebut cukup menunjang garapan agar dapat tampil maksimal dalam Bali Mandara Nawanatya III.
Dalam garapan ini, tak hanya sebuah pesan yang mengedukasi diharapkan oleh Agus dan Yogi. Sebagai seorang seniman yang bernaung di wilayah Gianyar Timur, keduanya berharap dengan keberadaan Sanggar Semara Loka Santhi dapat membangkitkan semangat berkesenian yang selama ini hanya dikenal di wilayah Gianyar Barat. Dengan demikian pecut berkesenian pun dapat digenggam oleh para seniman dari seluruh Bali dengan misi yang dipegang masing-masing. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018