Denpasar (Antaranews Bali) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, secara resmi menerbitkan surat perintah penghetian penyelidikan (SP3) terhadap dugaan korupsi investasi senilai Rp200 miliar di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.

"Terkait investasi BPD, saya sendiri belum mendapat laporan. Namun, saya mendengar sudah dihentikan penyelidikannya," kata Kajati Bali, Amir Yanto, disela-sela Hari Bhakti Adiyaksa ke-58 di Denpasar, Selasa.

Ia menjelaskan, dikeluarkanya SP3 ini karana penyidik Kejati Bali tidak menemukan cukup bukti terkait kerugian negara dan dari hasil perhitungan ahli, untuk agunan yang diberikan pada waktu itu, sudah melebihi nilai kredit sehingga menurut ahli tidak ada kerugian negara.

Walapupun demikian, lanjut Amir Yanto, penyelidikan perkara ini bisa kembali dibuka apabila ada bukti baru. "Penyelidikan bisa kembali buka apabila nanti ada bukti-bukti yang bisa membuktikan bahwa ada unsur tindak pidanannya. Baik itu subjeknya, melawan hukum, kerugian negara dan orang-orang atau badan hukum yang diuntungkan dengan kerugian negara," ujarnya.

Sementara itu, Aspidsus Kejati Bali, Polin Oktavianus Sitanggang mengatakan, pada saat itu anggunan dari kreditur memang tidak mencukupi sehingga diekspos dan penyidik Kejati Bali sepakat dinaikan ketahap penyelidikan. "Namun setelah didalami, yang dianggunkan bukan hak sewa tapi hak guna bangunan (HGB)," katanya.

Terkait kabar miring adanya lobi-lobi elit politik dengan Kejati Bali, tegas Pollin, pihaknya tidak mengenal satu pun politisi yang ada di Bali. "Kalau cukup bukti kami tidak lanjuti ini. Namun, karena tidak cukup bukti, maka kasus ini di-SP3 -kan, untuk dikeluarnya SP3-nya ini saya lupa," katanya.

Pollin mengatakan, pihaknya tidak mengumumkan keluar SP3 sebelumnya, karena di Bali sedang ada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali. "Kami ingin menjaga kondusifitas Pilkada. Jujur saya takut itu dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu," katanya.

Sebelumnya, kasus dugaan korupsi di BPD Bali ini menyusul dengan adanya ketidakwajaran pencairan dana kredit kepada dua kreditur yakni PT Karya Utama Putera Pratama senilai Rp150 miliar pada Tahun 2013, dan PT Hakadikon Beton Pratama senilai Rp42 miliar.

Selaku kreditur, pemilik PT Karya Utama Putera Pratama dan PT Hakadikon merupakan orang yang sama. Pencairan kredit untuk PT Karya Utama Putera Pratama terjadi 2013. Pemilik PT berinisialnya HS.

Selain  proses pencairan yang tidak wajar dan super cepat, penyerahan obyek agunan yang tidak sesuai dengan nilai kredit karena obyek agunan (H Sovereign Bali) yang berada di sekitar Jalan Raya Tuban, Badung merupakan tanah sewa, sehingga proses pengajuan kredit tidak sesuai dengan sistem kredit perbankan, nilai atau jumlah dana yang dikucurkan juga tidak sebanding dengan nilai agunan yang dijaminkan. (ed)

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018