Denpasar (Antaranews Bali) - Pemerintah Kota Denpasar, Bali mengadakan "Pentas Ngelawang Barong" serangkain dengan hari suci Galungan dan Kuningan dengan mendapat sambutan antusias pencinta seni dan budaya serta masyarakat.
"Kegiatan tersebut merupakan bentuk pelestarian kesenian tradisi Bali diikuti oleh 10 sekaa (kelompok) se-Kota Denpasar dan juga dipentaskan di masing-masing desa adat (pakraman) asal sekaa hingga 17 Juni mendatang," kata Kepala Sub Bagian Bina Keagamaan Bagian Kesra Setda Kota Denpasar I Nyoman Oka di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan tradisi "Ngelawang Barong" yang telah berlangsung turun-temurun itu, selain sebagai upaya membangkitkan semangat seni budaya, juga memberikan vibrasi kesucian untuk menetralisasi alam semesta, menolak segala macam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan manusia, baik secara "sekala dan niskala" (alam nyata dan tak nyata).
Nyoman Oka mengatakan pementasan "Ngelawang Barong" oleh masyarakat Hindu di Bali dilaksanakan ketika memasuki masa "Uncal Walung", yakni mulai dari hari suci Galungan hingga "Buda Kliwon Pegatuakan" pada 4 Juli mendatang.
Dia mengatakan pada rentang waktu tersebut diyakini aura negatif memiliki andil besar menguasai alam semesta.
Dalam pelaksanaan "Ngelawang Barong" menampilkan penokohan baik dan buruk yang dikemas dalam sajian penokohan "Barong Ket, Barong Bangkung, Barong Brutuk" dan jenis barong lainnya, sebagai simbol kekuatan positif, sedangkan tokoh "Rangda" (tokoh menyeramkan) simbol kekuatan negatif yang keduanya saling berkaitan dalam menciptakan keseimbangan alam semesta.
"Ngelawang adalah seni tradisi di Bali yang sarat makna, sehingga kelestarian harus tetap dijaga, dan di Kota Denpasar sendiri eksistensi sekaa ngelawang masih dapat dijumpai saat Umanis Galungan dan Umanis Kuningan," ucapnya.
Ia mengatakan pentas "Ngelawang" hanya sebagai bentuk dukungan awal untuk selanjutnya tradisi "Ngelawang" dilakukan oleh kelompok (sekaa) di masing-masing desa adat setempat.
Seluruh peserta "Ngelawang" dibebaskan untuk membuat sebuah garapan dramatikal sesuai dengan ide masing-masing yang tetap berpedoman pada ajaran "rwa bhineda" atau baik dan buruk.
"Sampai saat ini tradisi `Ngelawang` masih lestari di Denpasar. Kali ini kami hanya ingin memberikan apresiasi terhadap sekaa-sekaa yang bertahan dan untuk memotivasi sekaa-sekaa lainnya tetap melestarikan tradisi `Ngelawang` tersebut," ujarnya.
Ia menjelaskan peserta yang dominan dari kalangan pelajar SD, SMP, SMA. dan SMK. Di samping itu, juga melibatkan sekaa "teruna-teruni" (kelompok pemuda) sebagai pendamping, sehingga, tradisi "Ngelawang" dapat tetap lestari. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kegiatan tersebut merupakan bentuk pelestarian kesenian tradisi Bali diikuti oleh 10 sekaa (kelompok) se-Kota Denpasar dan juga dipentaskan di masing-masing desa adat (pakraman) asal sekaa hingga 17 Juni mendatang," kata Kepala Sub Bagian Bina Keagamaan Bagian Kesra Setda Kota Denpasar I Nyoman Oka di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan tradisi "Ngelawang Barong" yang telah berlangsung turun-temurun itu, selain sebagai upaya membangkitkan semangat seni budaya, juga memberikan vibrasi kesucian untuk menetralisasi alam semesta, menolak segala macam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan manusia, baik secara "sekala dan niskala" (alam nyata dan tak nyata).
Nyoman Oka mengatakan pementasan "Ngelawang Barong" oleh masyarakat Hindu di Bali dilaksanakan ketika memasuki masa "Uncal Walung", yakni mulai dari hari suci Galungan hingga "Buda Kliwon Pegatuakan" pada 4 Juli mendatang.
Dia mengatakan pada rentang waktu tersebut diyakini aura negatif memiliki andil besar menguasai alam semesta.
Dalam pelaksanaan "Ngelawang Barong" menampilkan penokohan baik dan buruk yang dikemas dalam sajian penokohan "Barong Ket, Barong Bangkung, Barong Brutuk" dan jenis barong lainnya, sebagai simbol kekuatan positif, sedangkan tokoh "Rangda" (tokoh menyeramkan) simbol kekuatan negatif yang keduanya saling berkaitan dalam menciptakan keseimbangan alam semesta.
"Ngelawang adalah seni tradisi di Bali yang sarat makna, sehingga kelestarian harus tetap dijaga, dan di Kota Denpasar sendiri eksistensi sekaa ngelawang masih dapat dijumpai saat Umanis Galungan dan Umanis Kuningan," ucapnya.
Ia mengatakan pentas "Ngelawang" hanya sebagai bentuk dukungan awal untuk selanjutnya tradisi "Ngelawang" dilakukan oleh kelompok (sekaa) di masing-masing desa adat setempat.
Seluruh peserta "Ngelawang" dibebaskan untuk membuat sebuah garapan dramatikal sesuai dengan ide masing-masing yang tetap berpedoman pada ajaran "rwa bhineda" atau baik dan buruk.
"Sampai saat ini tradisi `Ngelawang` masih lestari di Denpasar. Kali ini kami hanya ingin memberikan apresiasi terhadap sekaa-sekaa yang bertahan dan untuk memotivasi sekaa-sekaa lainnya tetap melestarikan tradisi `Ngelawang` tersebut," ujarnya.
Ia menjelaskan peserta yang dominan dari kalangan pelajar SD, SMP, SMA. dan SMK. Di samping itu, juga melibatkan sekaa "teruna-teruni" (kelompok pemuda) sebagai pendamping, sehingga, tradisi "Ngelawang" dapat tetap lestari. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018