Denpasar (Antaranews Bali) - Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono mengatakan banyak kejanggalan keterangan yang dilontarkan oleh saksi fakta pertama dari pihak tergugat PLTU Celukan Bawang I Made Teja.
"Ini menunjukkan bahwasanya proses pengeluaran Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW sangat dipaksakan dan tanpa mengikuti kaidah yang sesuai," katanya setelah sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Kamis.
Bahkan kegiatan peninjauan ke lapangan yang seharusnya menjadi ajang untuk pembuktian langsung oleh pihak yang berwenang, menurut dia tampak hanya menjadi kegiatan formalitas
Selain itu, menurut dia, pemeriksaan yang dilakukan oleh saksi fakta yang menjabat sebagai Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali itu hanya dilakukan dalam jangka waktu 1,5 jam dengan area pemeriksaan seluas 40 hektare, padahal yang menjadi taruhannya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut serta masyarakat Bali secara keseluruhan.
Tak hanya itu, kejanggalan juga ditemukan dari keterangan I Made Teja bahwa tim yang melakukan pengecekan di lapangan hanya menemukan lima sampai delapan kapal nelayan di sekitar kawasan tersebut, sedangkan di kawasan sekitar PLTU Celukan Bawang masih terdapat lima kelompok nelayan yang masing-masing kelompok nelayan bisa terdiri atas 38 hingga 60 anggota.
Fakta kejanggalan lain yang diungkapkan oleh saksi fakta pertama adalah tidak adanya keberatan dari masyarakat akan dampak yang ditimbulkan oleh PLTU yang sudah beroperasi, padahal masyarakat pernah melakukan demo besar perihal limbah buangan PLTU pada Agustus 2015.
"Dari beberapa keterangan yang disampaikan, semakin menunjukkan bagi kita semua bahwa mereka (tim Dinas Lingkungan Hidup) yang turun ke lapangan tidak cermat, mengada-ngada, dan tidak melihat secara menyeluruh keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang ada di Desa Celukan Bawang dan desa sekitarnya," ujarnya.
Dalam persidangan, Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Teja yang menjadi saksi fakta pertama dari pihak tergugat dalam agenda sidang gugatan masyarakat dan Greenpeace Indonesia terhadap Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor: 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW mengatakan proses izin lingkungan PT PLTU Celukan Bawang sudah sesuai prosedur.
"Tim kami melakukan pengecekan di lapangan pada tanggal 31 Oktober 2016 tidak menemukan adanya masyarakat yang masih tinggal di dalam kawasan yang rencananya akan dibangun PLTU oleh PT PLTU Celukan Bawang," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa di kawasan yang akan dibangun PLTU tersebut tidak ada masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar sebagai petani dan perkebunan.
"Beberapa kali saya lihat nelayannya hanya itu-itu saja, paling cuma lima sampai enam orangnya," ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum masyarakat Celukan Bawang dari LBH Bali Haerul Umam mengatakan fakta di lapangan di dalam kawasan yang akan dibangun PLTU Celukan Bawang itu masih terdapat kurang lebih sepuluh kepala keluarga yang hidup dan tinggal di sana sampai saat ini.
"Kalau nelayan di kawasan ada lima kelompok nelayan yang memiliki anggota paling sedikit 21 orang per kelompok bahkan ada yang mencapai 60 orang per kelompok," ujarnya.
Dengan demikian, pihaknya menilai bahwa adanya ketidaksesuaian fakta yang diungkap saksi fakta dari pihak tergugat dengan fakta yang ada di lapangan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Ini menunjukkan bahwasanya proses pengeluaran Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW sangat dipaksakan dan tanpa mengikuti kaidah yang sesuai," katanya setelah sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Kamis.
Bahkan kegiatan peninjauan ke lapangan yang seharusnya menjadi ajang untuk pembuktian langsung oleh pihak yang berwenang, menurut dia tampak hanya menjadi kegiatan formalitas
Selain itu, menurut dia, pemeriksaan yang dilakukan oleh saksi fakta yang menjabat sebagai Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali itu hanya dilakukan dalam jangka waktu 1,5 jam dengan area pemeriksaan seluas 40 hektare, padahal yang menjadi taruhannya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut serta masyarakat Bali secara keseluruhan.
Tak hanya itu, kejanggalan juga ditemukan dari keterangan I Made Teja bahwa tim yang melakukan pengecekan di lapangan hanya menemukan lima sampai delapan kapal nelayan di sekitar kawasan tersebut, sedangkan di kawasan sekitar PLTU Celukan Bawang masih terdapat lima kelompok nelayan yang masing-masing kelompok nelayan bisa terdiri atas 38 hingga 60 anggota.
Fakta kejanggalan lain yang diungkapkan oleh saksi fakta pertama adalah tidak adanya keberatan dari masyarakat akan dampak yang ditimbulkan oleh PLTU yang sudah beroperasi, padahal masyarakat pernah melakukan demo besar perihal limbah buangan PLTU pada Agustus 2015.
"Dari beberapa keterangan yang disampaikan, semakin menunjukkan bagi kita semua bahwa mereka (tim Dinas Lingkungan Hidup) yang turun ke lapangan tidak cermat, mengada-ngada, dan tidak melihat secara menyeluruh keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang ada di Desa Celukan Bawang dan desa sekitarnya," ujarnya.
Dalam persidangan, Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Teja yang menjadi saksi fakta pertama dari pihak tergugat dalam agenda sidang gugatan masyarakat dan Greenpeace Indonesia terhadap Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor: 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW mengatakan proses izin lingkungan PT PLTU Celukan Bawang sudah sesuai prosedur.
"Tim kami melakukan pengecekan di lapangan pada tanggal 31 Oktober 2016 tidak menemukan adanya masyarakat yang masih tinggal di dalam kawasan yang rencananya akan dibangun PLTU oleh PT PLTU Celukan Bawang," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa di kawasan yang akan dibangun PLTU tersebut tidak ada masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar sebagai petani dan perkebunan.
"Beberapa kali saya lihat nelayannya hanya itu-itu saja, paling cuma lima sampai enam orangnya," ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum masyarakat Celukan Bawang dari LBH Bali Haerul Umam mengatakan fakta di lapangan di dalam kawasan yang akan dibangun PLTU Celukan Bawang itu masih terdapat kurang lebih sepuluh kepala keluarga yang hidup dan tinggal di sana sampai saat ini.
"Kalau nelayan di kawasan ada lima kelompok nelayan yang memiliki anggota paling sedikit 21 orang per kelompok bahkan ada yang mencapai 60 orang per kelompok," ujarnya.
Dengan demikian, pihaknya menilai bahwa adanya ketidaksesuaian fakta yang diungkap saksi fakta dari pihak tergugat dengan fakta yang ada di lapangan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018