Pernahkah anda menerima pesan berantai di media sosial tentang cara menangani orang terkena stroke cukup dengan menusukan jarum ke jari tangan?.

Ada pula  informasi yang menyatakan tusuk gigi di rumah makan telah dipakai oleh penderita HIV sehingga bisa ketularan  jika dipakai lagi. Ada pula informasi buah kaleng asal Thailand yang juga dimasukan darah penderita HIV.

Tak hanya itu, ada pula yang menyampaikan tidak boleh minum air dingin setelah makan karena akan memicu kanker  dengan alasan  air dingin bisa memadatkan kandungan minyak dalam makanan sehingga lama-kelamaan akan melapisi usus, membuat dinding tebal yang berujung pada  kanker.

Kemudian juga beredar informasi  larangan makan udang  bersamaan dengan vitamin C karena bisa meninggal dengan alasan arsenik yang terkandung dalam udang bisa berinteraksi fatal saat mengonsumsi vitamin  C.

Bahkan ada yang menyatakan pemberian vaksin HPV dapat menyebabkan menopause pada anak hingga jengkol dan petai sebagai antikanker paling ampuh.

Semua informasi di atas ternyata tidak terbukti dan hoaks. Namun, ternyata kabar palsu yang menyebar amat masif.  

Jika satu orang punya lima grup di media sosial dengan anggota 100 orang maka hanya dalam hitungan menit kabar bohong itu telah sampai di tangan 500 orang dan dapat dibayangkan jika semua penghuni grup  menyebar ulang.

Menurut Organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo),   penyebaran hoaks di Tanah Air sudah masuk kategori membahayakan  karena menyebar secara masif ke seluruh lini.

"Dampak hoaks di Indonesia telah memicu konflik horizontal hingga memakan korban nyawa manusia," kata Ketua Mafindo Septiaji Eko Nugroho pada Festival Literasi Media dan Digital di Universitas Andalas.

Septiaji menceritakan pada Februari 2017 beredar foto selebaran di dunia maya bertuliskan waspada penculikan anak yang seolah-olah dibuat kepolisian dengan ciri-ciri pelaku berpura-pura menjadi orang gila.

"Selebaran itu dipercaya masyarakat padahal polisi tidak pernah membuatnya," kata dia.

Akibatnya terjadi di Tegal, Jawa Tengah ada orang yang mengalami gangguan jiwa disiksa dan dianiaya karena dituduh menculik anak.

"Yang lebih parah di Kalimantan Barat orang gila disiksa sampai meninggal dunia," ujarnya.

Tidak hanya itu,  hoaks di bidang kesehatan juga telah menghilangkan nyawa orang  seperti informasi yang menyatakan orang  terserang stroke disarankan jarinya  ditusuk pakai jarum agar darah keluar sehingga segera pulih.

"Ini dipercaya banyak orang dan dipraktikan, padahal seharusnya cepat dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lebih awal sehingga bisa tertolong," katanya.

Ia menyampaikan ada kasus orang yang terserang stroke di sebuah kantor bukan segera di bawah ke rumah sakit malah oleh teman-temannya diterapi dengan menusuk jari akibatnya tidak tertolong lagi.

Hoaks di bidang politik juga merusak demokrasi karena dalam pilkada atau pemilu orang lebih sibuk membahas hal-hal tidak penting dan belum tentu benar ketimbang mengupas visi misi dan program kerja kandidat.

Ia mengakui kecenderungan  masyarakat memang suka berita hoaks karena lebih menarik daripada berita yang sebenarnya sebab dikemas sedemikian rupa ditunjang oleh  rasa ingin tahu juga  besar.

"Akibatnya, banyak profesor dan doktor yang seharusnya punya kemampuan literasi tinggi pun ikut menyebar hoaks," katanya.

Ia mengatakan untuk memberantas hoaks membutuhkan pendekatan menyeluruh mulai dari ajakan cek fakta, gerakan literasi untuk mencerdaskan masyarakat.

        
Rendahnya Literasi

Sementara Ketua Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Kagama) Learning Virtual Comunity, Arief Prihantoro menyampaikan hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang dengan mudah percaya hoaks karena rendahnya  literasi.

"Selevel kelompok terpelajar seperti di UGM saja masih banyak yang tidak bisa membedakan apa itu data dan  apa itu informasi sehingga wajar masyarakat menelan berita manipulatif secara mentah-mentah," katanya.

Ia mengatakan kalangan terdidik harus memahami hal ini agar tidak mudah menelan berita hoaks.

Pada sisi lain, ia menyoroti ketika manusia dalam kondisi emosi maka bagian otak yang berfungsi adalah sistem limbik pada bagian belakang, bukan neokortek yang membuat orang berpikir dengan rasional dan menggunakan nalar.

"Hal ini dimanfaatkan oleh pembuat hoaks dengan mencetus emosi pembaca sehingga orang tak lagi rasional saat menerima sebuah informasi," kata dia.

Bahkan ia melihat saat ini hoaks telah berubah menjadi industri sebagaimana yang terjadi di luar negeri.

Ia menyampaikan ada konsultan politik yang disewa khusus oleh kandidat  kemudian membuat dua kubu dengan skenario  berseteru di dunia maya.

Jadi dua kelompok ini disewakan tempat di satu gedung, lantai satu kubu A , di lantai dua kubu B, lalu dibuat skenario jam sekian kelompok A memaki-maki kelompok B di dunia maya, dan jam berikutnya giliran kelompok B memaki kubu A di media sosial, katanya.

Meskipun yang membuat adalah orang yang sama tujuan dari hal tersebut untuk melihat langsung peta politik di dunia maya siapa kelompok lain yang kuat atau ada masyarakat yang bereaksi sehingga dapat diketahui posisinya.

"Dari situ akan diketahui sisi lemah lawan dan dapat dibuat strategi mengalahkannya," ujar dia.

        
Cek Fakta  

Agar tidak terjebak ikut menyebar hoaks, Mafindo menyampaikan langkah pertama yang bisa dilakukan untuk mendeteksi apakah suatu informasi valid atau hoaks adalah dengan melakukan cek fakta.

"Setiap kali ada informasi yang diragukan kebenarannya mari bersama-sama lakukan cek fakta untuk menguji kebenarannya," kata Septiaji.

Saat ini untuk melakukan cek fakta ada banyak komunitas yang melakukan seperti Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks di facebook dengan puluhan ribu anggota yang aktif.

Tidak hanya itu beberapa waktu lalu juga sudah diluncurkan situs www.cekfakta.com  yang merupakan wadah untuk mencari tahu dan mengklarifikasi informasi yang beredar apakah benar atau tidak.

Pentingnya memberantas hoaks ini juga membuat Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa khusus tentang pedoman menggunakan media sosial.

Pada sisi lain Mafindo  juga mendorong pers semakin berkualitas dengan menghasilkan berita yang semakin dekat dengan fakta dan tidak semata mengejar kecepatan dan rating.

Mafindo juga  berharap para penyebar hoaks harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga tidak dibiarkan bebas saja.

"Namun harus dipilah orang yang menyebar hoaks karena murni ketidaktahuaan atau memang orang yang dari awal sengaja membuat dan menyebar berita bohong," kata dia.  

Kemampuan literasi yang baik akan mencegah seseorang bisa mengetahui mana hoaks dan mana informasi yang kredibel. (ed)

Pewarta: Ikhwan Wahyudi

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018