Denpasar (Antaranews Bali) - Sebanyak 50 mahasiswa dan dosen Universitas Teknologi Nanyang (UTN) Singapura mengunjungi Subak Pulagan di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, yang merupakan salah satu dari 17 subak yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) di Bali, bahkan sivitas akademika UTN pun siap mendigitalkan WBD itu.
Ketua Pusat Penelitian Subak (Puslit) Subak Universitas Udayana (Unud) Prof Wayan Windia di Denpasar, Minggu, menjelaskan dirinya mendapat kepercayaan untuk menjelaskan tentang sistem subak di Bali, khususnya di Subak Pulagan kepada para tamu dari Singapura tersebut.
"Rombongan dari UTN tersebut yang dipimpin Prof Lansing dengan sejumlah dosen pendamping itu menikmati kelestarian dan panorama alam di kawasan subak yang memang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara, selain keunikan seni budaya Bali," katanya.
Dalam kunjungan itu, Prof Lansing mengatakan, pihaknya akan mengembangkan sistem digital tentang Subak Pulagan. Dengan demikian, wisatawan dunia akan lebih mudah menemukan informasi tentang eksistensi Subak Pulagan.
"Hal tersebut merupakan yang pertama dari UTN untuk mengembangkan digitalisasi sistem kawasan subak. Kalau hal ini berjalan baik, maka akan dikembangkan ke semua kawasan subak yang menjadi warisan budaya dunia di Bali," ujar Prof Lansing.
Menurut Prof Windia, sistem pengembangan digitalisasi kawasan "Warisan Budaya Dunia" (WBD) di Bali itu akan berjalan baik, jika Pemerintah Provinsi Bali sudah mengembangkan lembaga Badan Pengelola WBD.
"Badan inilah yang belum dijalankan oleh Pemprov Bali, meskipun pihak pemerintah sudah berjanji untuk melaksanakannya sesuai dengan dokumen yang dikirim ke UNESCO tempo hari," katanya.
Windia menyebutkan bahwa karena tidak ada badan pengelola yang kuat, maka kini subak-subak yang menjadi WBD sudah semakin rusak.
Disebutkan bahwa kawasan Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan sudah mulai hancur-hancuran, karena Pemkab setempat kurang perhatian.
"Pikiran pihak Pemkab Tabanan hanya berjangka pendek. Hanya untuk keuntungan sesaat," katanya.
Ia yakin bahwa kalau Subak Jatiluwih sudah hancur, maka tidak akan ada wisatawan yang berkunjung ke kawasan itu. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Ketua Pusat Penelitian Subak (Puslit) Subak Universitas Udayana (Unud) Prof Wayan Windia di Denpasar, Minggu, menjelaskan dirinya mendapat kepercayaan untuk menjelaskan tentang sistem subak di Bali, khususnya di Subak Pulagan kepada para tamu dari Singapura tersebut.
"Rombongan dari UTN tersebut yang dipimpin Prof Lansing dengan sejumlah dosen pendamping itu menikmati kelestarian dan panorama alam di kawasan subak yang memang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara, selain keunikan seni budaya Bali," katanya.
Dalam kunjungan itu, Prof Lansing mengatakan, pihaknya akan mengembangkan sistem digital tentang Subak Pulagan. Dengan demikian, wisatawan dunia akan lebih mudah menemukan informasi tentang eksistensi Subak Pulagan.
"Hal tersebut merupakan yang pertama dari UTN untuk mengembangkan digitalisasi sistem kawasan subak. Kalau hal ini berjalan baik, maka akan dikembangkan ke semua kawasan subak yang menjadi warisan budaya dunia di Bali," ujar Prof Lansing.
Menurut Prof Windia, sistem pengembangan digitalisasi kawasan "Warisan Budaya Dunia" (WBD) di Bali itu akan berjalan baik, jika Pemerintah Provinsi Bali sudah mengembangkan lembaga Badan Pengelola WBD.
"Badan inilah yang belum dijalankan oleh Pemprov Bali, meskipun pihak pemerintah sudah berjanji untuk melaksanakannya sesuai dengan dokumen yang dikirim ke UNESCO tempo hari," katanya.
Windia menyebutkan bahwa karena tidak ada badan pengelola yang kuat, maka kini subak-subak yang menjadi WBD sudah semakin rusak.
Disebutkan bahwa kawasan Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan sudah mulai hancur-hancuran, karena Pemkab setempat kurang perhatian.
"Pikiran pihak Pemkab Tabanan hanya berjangka pendek. Hanya untuk keuntungan sesaat," katanya.
Ia yakin bahwa kalau Subak Jatiluwih sudah hancur, maka tidak akan ada wisatawan yang berkunjung ke kawasan itu. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018