Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Wisatawan mancanegara dalam menikmati liburan ke Pulau Dewata, awalnya tertarik pada seni budaya Bali, namun rasa senangnya itu lambat laun berubah menjadi cinta untuk mendalami seni budaya Bali.

Turis itu semakin mempelajari seni budaya Bali akan menemukan keasikan, kedamaian dan rasa senang terhadap seni budaya Bali, hingga akhirnya, mereka secara serius mempelajari dan mendalami seni budaya Bali, khususnya sebagai dalang wayang kulit.

I Wayan Nartha (69), seorang dalang wayan kulit, pria  kelahiran Banjar Babakan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, 31 Desember 1942 itu mendidik sejumlah mahasiswa warga negara asing untuk mendalami seni pedalangan wayang kulit.

Keinginan seniman asing itu untuk mendalami seni pedalangan, justru di tengah kesenian tradisi Bali semakin terpinggirkan, karena jenis kesenian wayang semakin jarang dipentaskan, kecuali untuk kelengkapan kegiatan ritual dan adat.

Selain mendidik mahasiswa asing juga pernah mengadakan lawatan ke mancanegara, antara lain Kanada, Jepang, Australia dan Jerman, disamping sejumlah kota di Indonesia.

Nartha pernah membina dan melatih mahasiswa asing sebagai dalang wayang kulit antara lain Maria Bodmann, warga Amerika Serikat Serikat, Endrik (Kanada), Ikioko (Jepang) dan Clora (Jerman).

Hasilnya cukup memuaskan, karena anak binaannya warga negara asing mampu mampu memainkan wayang dengan baik, meskipun masih perlu terus melatih diri.

Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam penggalian, pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali, sosok I Wayan Nartha kini menjadi salah satu dominasi penerima seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.

Satu tim dari instansi terkait menurut  Kepala Seksi  Perfilman dan Perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I  Wayan Dauh masih melakukan seleksi secara ketat terhadap mereka yang dinilai berjasa dalam pengembangan seni budaya Bali hingga sekarang eksis di tengah himpuran budaya global.

Seniman yang lolos seleksi dari tim instansi terkait tersebut mendapat anugrah Dharma Kusuma yang diserahkan pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-53 Pemerintah Provinsi Bali, 14 Agustus 2011.

    
Kelengkapan ritual
Tumpek wayang, hari baik dalam perhitungan kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual, bermakna menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai "Taksu" (karisma) sesuai watak dalam pementasan.

Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik itu wajib melaksanakan upacara dengan menghaturkan bebantenan (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali.

Menjelang Tumpek Wayang itulah para dalang wayang kulit di Bali umumnya banyak mendapat pesanan pentas, dalam kaitan untuk kelengkapan pelaksanaan upacara keagamaan.

Wayan Narta, suami dari Ni Wayan Bui (65) itu kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia remaja.

Keahlian yang dimilikinya itu berkat belajar dari sejumlah gurunya di daerah gudang seni Kabupaten Gianyar  dengan penuh semangat selama hampir lima tahun itu, akhirnya mampu membuahkan hasil yang sangat memuaskan.

Sosok pria yang akrab disapa Dalang Nartha itu pada usia 25 tahun mematangkan lagi kemampuannya sebagai dalang wayang kulit pada sejumlah guru hingga akhirnya mapan sebagai dalang wayang kulit.

Proses berkesenian yang digeluti ayah enam putra-putri itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual, karena di luar kegiatan itu masyarakat Bali hampir tidak pernah mementaskan wayang kulit.

Oleh sebab itu kegiatan seni yang digeluti pria yang enerjik dan tampak masih sehat bugar pada usia senjanya itu hanya sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual.

Bahkan dalam pementasan itu justru pernah mengeluarkan dana untuk biaya transportasi, karena dalam pementasan di pura-pura besar (Sad Khayangan) sama sekali tidak menerima imbalan, termasuk transportasi bersama sekaa kesenian serta membawa gender dan perangkat wayang.

Sebelum menjadi dalang telah mempersiapkan diri antara belajar membuat wayang yang ditekuninya  lebih dari setengah abad  sejak umur tujuh tahun  hingga sekarang. Demikian pula pernah  belajar sebagai asisten dalang yang duduk di sebelah kiri atau kanan dalang untuk membantu dalang dalam pementasan (1952) dan belajar memainkan dagang pada tahun 1962.

Selama hampir setengah abad, 1962-2011 pria yang senang bergaul dengan siapa saja itu mengaku tidak pernah jeda dalam melakukan aktivitas bermain wayang, baik untuk ngayah maupun bersifat komersial. Dalam pagelaran itu menampilkan lakon antara lain Mahaberata, Ramayana, Cupak dan Gambuh.

        

Cetak kader
I Wayan Narta yang sepenuhnya mengabdikan diri dalam bidang seni itu, dengan senang hati membina dan melatih anak-anak muda atau siapa saja yang berminat menjadi dalang, mengikuti jejaknya.

Ia dengan senang hati mentransfer ilmu dan pengalaman yang dimiliki kepada anak binaannya, termasuk putra putrinya yang mewarisi dan melanjutkan upaya pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali.

Salah seorang putranya I Ketut Sudiana mewarisi bidang seni tersebut, disamping beberapa saudaranya antara lain Ni Made Sudiasih, Komang Sudiarsa, Ni Wayan Sudiani, Kadek Suarjana dan Komang Sudjana.

Anak binaannya tidak terbatas dari wilayah Kabupaten Gianyar, namun juga datang dari sejumlah desa yang ada di Bali. Bahkan pernah sebagai pengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar yang kini berubah status menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Mengabdikan diri di lembaga pendidikan tinggi seni itu  selama 25 tahun periode 1974-1999. Selama kurun waktu itu sedikitnya berhasil mencetak 75 dalang.

Pengabdiannya itu kini diteruskan oleh putranya yang keempat yakni I Ketut Sudiana, SSn dan Msi menjadi dosen di ISI Denpasar dalam bidang seni pedalangan.

Belajar memainkan wayang, menurut Wayan Nartha, diperlukan semangat dan kesabaran, penguasaan seni sastra dan piawai menarikan wayang. Selain itu harus bisa membaca situasi dan kondisi di masyarakat saat melakukan pementasan.

Kemampuan membaca situasi itu menjadi modal dalam memperkaya materi bahan yang dikemas dalam pementasan, sehingga mampu menarik perhatian penonton untuk menyaksikan hingga pementasan berakhir yang berlangsung selama tiga atau empat jam.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011