Denpasar (Antaranews) - Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan rangkaian Hari Suci Galungan merupakan momentum bagi umat Hindu untuk memusatkan pikiran.
"Umat, kami rasa sudah mulai memahami makna Galungan, sehingga tidak hanya terjebak dalam pelaksanaan seremonial ritual," kata Sudiana, di Denpasar, Rabu.
Umat Hindu pada Rabu (30/5) merayakan Hari Suci Galungan yang jatuh setiap 210 hari sekali. Perayaan Galungan di Pulau Dewata ditandai dengan hiasan penjor dipajangkan di depan pintu rumah tangga masing-masing, sehingga sepanjang jalan nampak semarak dengan hiasan penjor yang dilengkapi dengan hasil pertanian sebagai lambang kemakmuran.
Pada Hari Galungan, umat Hindu akan bersembahyang ke sejumlah tempat suci mulai dari lingkungan keluarga (merajan) hingga pura di kawasan desa (Pura Kahyangan Tiga), serta berbagai pura lainnya dalam skup yang lebih luas.
"Galungan mempunyai makna yang mendalam bagi umat Hindu, karena dalam rangkaian persiapan Galungan, tidak hanya diperlukan persiapan fisik, tetapi juga batin," ujar Sudiana.
Sudiana yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu mengemukakan, rangkaian Galungan sejatinya sudah dimulai dari Tumpek Wariga yakni 25 hari sebelum Galungan. Tumpek Wariga mengingatkan umat Hindu untuk memelihara alam dengan baik, sehingga pohon-pohon dapat berbuah dengan lebat untuk digunakan sesajen saat Galungan.
Selanjutnya adalah Hari Sugihan Jawa (H-6 Galungan) sebagai simbolis pembersihan alam semesta. Sedangkan Sugihan Bali (H-5 Galungan), diharapkan agar umat Hindu berkontemplasi dan melihat diri ke dalam, sebagai bentuk persiapan diri menghadapi persembahyangan Galungan.
"Tiga hari sebelum Galungan diyakini sebagai waktu turunnya Bhuta Kala Tiga atau tiga kekuatan yang datang ke dunia untuk mengganggu umat manusia yakni Kala Dungulan, Kala Amangkurat, dan Kala Galungan," ucapnya.
Oleh karena itu pada hari Minggu (H-3 Galungan) yang di Bali dikenal dengan Hari Panyekeban, umat Hindu semestinya mematangkan diri agar kuat melawan hawa nafsu.
Pada Penyajaan (H-2 Galungan) mengingatkan umat agar menang dalam menghadapi musuh-musuh dalam diri. Sedangkan saat Penampahan (H-1 Galungan), bermakna bahwa umat sudah siap untuk menyambut Galungan.
"Galungan menjadi perlambang dan momentum bahwa manusia bisa memusatkan pikiran serta mengevaluasi diri melawan musuh-musuhnya, baik musuh dalam diri dan di luar diri. Dalam diri itu diantaranya hawa nafsu, kebencian, kemabukan dan kebingungan. Sedangkan musuh luar diri adalah kemiskinan, kebodohan, penyakit dan sebagainya," ujarnya.
Jadi, lanjut Sudiana, ketika umat bisa melawan godaan hawa nafsu, kekuasaan, kesombongan dan egoisme, maka telah menang melawan sifat-sifat adharma (sifat buruk). (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Umat, kami rasa sudah mulai memahami makna Galungan, sehingga tidak hanya terjebak dalam pelaksanaan seremonial ritual," kata Sudiana, di Denpasar, Rabu.
Umat Hindu pada Rabu (30/5) merayakan Hari Suci Galungan yang jatuh setiap 210 hari sekali. Perayaan Galungan di Pulau Dewata ditandai dengan hiasan penjor dipajangkan di depan pintu rumah tangga masing-masing, sehingga sepanjang jalan nampak semarak dengan hiasan penjor yang dilengkapi dengan hasil pertanian sebagai lambang kemakmuran.
Pada Hari Galungan, umat Hindu akan bersembahyang ke sejumlah tempat suci mulai dari lingkungan keluarga (merajan) hingga pura di kawasan desa (Pura Kahyangan Tiga), serta berbagai pura lainnya dalam skup yang lebih luas.
"Galungan mempunyai makna yang mendalam bagi umat Hindu, karena dalam rangkaian persiapan Galungan, tidak hanya diperlukan persiapan fisik, tetapi juga batin," ujar Sudiana.
Sudiana yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu mengemukakan, rangkaian Galungan sejatinya sudah dimulai dari Tumpek Wariga yakni 25 hari sebelum Galungan. Tumpek Wariga mengingatkan umat Hindu untuk memelihara alam dengan baik, sehingga pohon-pohon dapat berbuah dengan lebat untuk digunakan sesajen saat Galungan.
Selanjutnya adalah Hari Sugihan Jawa (H-6 Galungan) sebagai simbolis pembersihan alam semesta. Sedangkan Sugihan Bali (H-5 Galungan), diharapkan agar umat Hindu berkontemplasi dan melihat diri ke dalam, sebagai bentuk persiapan diri menghadapi persembahyangan Galungan.
"Tiga hari sebelum Galungan diyakini sebagai waktu turunnya Bhuta Kala Tiga atau tiga kekuatan yang datang ke dunia untuk mengganggu umat manusia yakni Kala Dungulan, Kala Amangkurat, dan Kala Galungan," ucapnya.
Oleh karena itu pada hari Minggu (H-3 Galungan) yang di Bali dikenal dengan Hari Panyekeban, umat Hindu semestinya mematangkan diri agar kuat melawan hawa nafsu.
Pada Penyajaan (H-2 Galungan) mengingatkan umat agar menang dalam menghadapi musuh-musuh dalam diri. Sedangkan saat Penampahan (H-1 Galungan), bermakna bahwa umat sudah siap untuk menyambut Galungan.
"Galungan menjadi perlambang dan momentum bahwa manusia bisa memusatkan pikiran serta mengevaluasi diri melawan musuh-musuhnya, baik musuh dalam diri dan di luar diri. Dalam diri itu diantaranya hawa nafsu, kebencian, kemabukan dan kebingungan. Sedangkan musuh luar diri adalah kemiskinan, kebodohan, penyakit dan sebagainya," ujarnya.
Jadi, lanjut Sudiana, ketika umat bisa melawan godaan hawa nafsu, kekuasaan, kesombongan dan egoisme, maka telah menang melawan sifat-sifat adharma (sifat buruk). (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018