Denpasar (Antaranews Bali) - Aktivis lingkungan Greenpeace mengungkapkan bahwa meningkatnya penggunaan batubara pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara sangat berisiko bagi kesehatan manusia.
"Meningkatnya kembali penggunaan batubara, gas dan minyak bumi pada 2017 artinya tidak hanya menambah emisi CO2 tetapi juga meningkatkan emisi polutan udara beracun, membawa risiko bagi kesehatan masyarakat. Ini harus diatasi segera," ujar Lauri Myllyvirta, ahli polusi udara Greenpeace saat ditemui di Denpasar, Selasa.
Polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batubara di Asia Tenggara telah berkontribusi pada 20.000 kematian dini per tahun. Jika rencana pembangunan PLTU-PLTU baru berjalan, diperkirakan angka ini bisa meningkat hingga 70.000 dari bermacam penyakit seperti kanker paru-paru, stroke, serta penyakit pernafasan, menurut riset dari Universitas Harvard dan Greenpeace International.
Dia menambahkan bahwa beberapa unsur masyarakat di Celukan Bawang sedang berupaya menentang rencana ekspansi PLTU di daerah itu yang akan berdampak pada lingkungan serta sumber penghidupan masyarakat sebagai petani dan nelayan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika mengatakan bahwa industri batubara berkumpul di Bali untuk menyelamatkan masa depan bisnis mereka, kesehatan dan pencaharian masyarakat Indonesia sedang terancam.
Dia menambahkan batubara adalah industri yang akan segera berakhir. Tidak hanya kesadaran global akan dampak buruknya, tetapi investor-investor besar mulai enggan menaruh modalnya di sektor ini dalam rangka menghindari risiko aset yang terbengkalai.
Baca juga: Greenpeace sebut TNBB berada dalam ancaman PLTU Batubara
Deutsche Bank yang merupakan bank terbesar di Jerman telah menyatakan akan menghentikan mendanai proyek batubara sebagai bagian dari komitmen terhadap Kesepakatan Paris untuk menghentikan dampak perubahan iklim.
Selain itu, badan pendanaan internasional seperti Bank Dunia, Bank Export Import Amerika Serikat, dan Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, juga memutuskan untuk berhenti berinvestasi di pembangkit listrik tenaga Batubara. (adt/I006)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Meningkatnya kembali penggunaan batubara, gas dan minyak bumi pada 2017 artinya tidak hanya menambah emisi CO2 tetapi juga meningkatkan emisi polutan udara beracun, membawa risiko bagi kesehatan masyarakat. Ini harus diatasi segera," ujar Lauri Myllyvirta, ahli polusi udara Greenpeace saat ditemui di Denpasar, Selasa.
Polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batubara di Asia Tenggara telah berkontribusi pada 20.000 kematian dini per tahun. Jika rencana pembangunan PLTU-PLTU baru berjalan, diperkirakan angka ini bisa meningkat hingga 70.000 dari bermacam penyakit seperti kanker paru-paru, stroke, serta penyakit pernafasan, menurut riset dari Universitas Harvard dan Greenpeace International.
Dia menambahkan bahwa beberapa unsur masyarakat di Celukan Bawang sedang berupaya menentang rencana ekspansi PLTU di daerah itu yang akan berdampak pada lingkungan serta sumber penghidupan masyarakat sebagai petani dan nelayan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika mengatakan bahwa industri batubara berkumpul di Bali untuk menyelamatkan masa depan bisnis mereka, kesehatan dan pencaharian masyarakat Indonesia sedang terancam.
Dia menambahkan batubara adalah industri yang akan segera berakhir. Tidak hanya kesadaran global akan dampak buruknya, tetapi investor-investor besar mulai enggan menaruh modalnya di sektor ini dalam rangka menghindari risiko aset yang terbengkalai.
Baca juga: Greenpeace sebut TNBB berada dalam ancaman PLTU Batubara
Deutsche Bank yang merupakan bank terbesar di Jerman telah menyatakan akan menghentikan mendanai proyek batubara sebagai bagian dari komitmen terhadap Kesepakatan Paris untuk menghentikan dampak perubahan iklim.
Selain itu, badan pendanaan internasional seperti Bank Dunia, Bank Export Import Amerika Serikat, dan Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, juga memutuskan untuk berhenti berinvestasi di pembangkit listrik tenaga Batubara. (adt/I006)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018