Denpasar (Antaranews) - Waspadai fenomena gangguan jiwa kekinian yang disebabkan kecanduan gawai. Itulah pesan dari ahli kejiwaan yang juga Wakil Direktur Bidang Pelayanan Rumah Sakit Jiwa Bangli dr Dewa Gde Basudewa SpKJ.

"Sekarang banyak kita lihat orang jalan, tetapi tangannya tetap sibuk dengan HP. Dipanggil pun tidak nyahut, dalam teori ilmu kejiwaan itu disebut obsesif kompulsif atau obsesi berlebihan terhadap sesuatu," kata dr Basudewa.

Saat berorasi pada Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS) di Denpasar (4/3/2018), ia menyebut tanda jika seseorang mulai mengalami gangguan jiwa bila tingkah lakunya mulai tidak selaras dengan lingkungan.

"Perubahannya bisa kita amati, dari yang awalnya suka bergaul menjadi tidak suka bergaul. Ciri lainnya, suka ngomong sendiri. Salah satu pemicu gangguan jiwa yang umum adalah depresi," ujarnya.

Namun, ahli kejiwaan ini mengamati belakangan muncul fenomena gangguan jiwa ringan yang disebabkan kecanduan pada teknologi khususnya telepon genggam.

Tak hanya telepon genggam, belakangan banyak anak remaja yang kecanduan game. Basudewa berpendapat, masyarakat harus mewaspadai dampak negatif dari adiksi atau kecanduan teknologi ini.

Hal itu karena kecanduan teknologi yang tak terkontrol dapat memicu perubahan perilaku seperti menjadi mudah marah ketika kesenangannya diganggu.

"Saya menyebutnya sebagai gangguan jiwa kekinian. Saya berharap, spektrum kategori gangguan kejiwaan bisa diubah sehingga fenomena kekinian bisa masuk dalam aturan dan tertangani sedini mungkin," ucapnya.

Di sisi lain, Basudewa juga menyinggung gangguan jiwa sebagai pemicu tingginya angka bunuh diri. "Angka kematian akibat bunuh diri di Bali cukup tinggi, puncaknya tahun 2004 yaitu sebanyak 180 orang. Sementara tahun 2017 bisa ditahan di angka 99 orang," ujarnya.

Meskipun grafiknya menurun, namun menurutnya angka itu masih terbilang tinggi. Menurut dia, lingkungan keluarga punya andil yang sangat besar dalam mencegah tindak bunuh diri.

"Jauhkan pola asuh anak dari kekerasan psikis seperti memarahi, merendahkan dan selalu menuntut mereka jadi yang terbaik. Selalu buka ruang komunikasi antar anggota keluarga," tambahnya.

Lebih dari itu, dr Basudewa juga mengimbau agar pihak keluarga tak menganggap orang dengan gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai aib yang terkesan ditutup-tutupi.

Sikap tertutup ini mengakibatkan hampir 80 persen pasien dengan ganguan jiwa belum terakses layanan keaehatan yang mereka butuhkan.

"Pemerintah menyediakan layanan khusus bagi ODGJ secara berjenjang mulai dari puskesmas. Silahkan manfaatkan seoptimal mungkin," ujarnya seraya menginformasikan bahwa RSJ Bangli saat ini menyediakan layanan rawat jalan dan rawat inap bagi ODGJ.

Batasi Gawai
Pandangan hampir senada juga diungkapkan akademikus yang juga dosen Komputerisasi Akuntasi dan Manajemen Informatika Politeknik Ganesha, Singaraja, Kadek Dwika SE MM, bahkan ia mengajak orang tua untuk meniru bos komputer Bill Gates dalam membatasi usia anak untuk bisa pegang gadget/gawai.

"Bill Gates adalah salah seorang terkaya di dunia, menerapkan aturan tegas tentang memberikan gadget pada anak-anaknya tepat saat berusia 14 tahun. Itu patut ditiru oleh semua orang tua. Jika berbicara soal teknologi, tentunya Bill Gates paling tahu apa yang baik dan yang tidak," katanya di Denpasar (2/3/2018).

Ia mengatakan Bill Gates memiliki tiga orang anak yang beranjak remaja. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia teknologi, pasti dia mengetahui kapan usia terbaik memberikan telepon seluler (ponsel) atau gadget pada anak.

"Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Tenplay, Bill Gates menegaskan bahwa anak-anak seharusnya tidak dibolehkan memiliki ponsel pintar atau gadget sebelum usianya 14 tahun," ungkapnya.

Menurut dia, ucapan Bill Gates itu "diamini" pakar parenting (pendidikan orangtua untuk anak-anak) dan ahli teknologi, karena penelitian juga telah membuktikan bahwa membiarkan anak menyentuh teknologi terlalu dini bisa berdampak buruk pada anak.

"Bill mengaku, bahwa dia dan istrinya Melinda menetapkan aturan ketat terkait memberikan gadget pada anak-anaknya. Meskipun anak mereka memprotes aturan tersebut, namun Bill tetap tegas, meskipun mereka mengeluh bahwa teman-teman mereka sudah memiliki ponsel sebelum berusia 14 tahun," kata Dwika saat mengutip kisah hidup Bill Gates.

Selain melarang anak memiliki ponsel sebelum berusia 14 tahun, Bill juga menerapkan aturan berupa membatasi "screen time" agar punya waktu lebih banyak untuk keluarga, tidak dibolehkan membawa ponsel pada saat makan, menentukan jumlah jam berlaku untuk melihat televisi dan ponsel setiap hari sehingga anak-anak bisa pergi tidur lebih awal dibanding anak lain.

"Dampak buruk gadget pada anak antara lain anak bisa terpapar pengaruh buruk dari internet, rentan menjadi korban dari predator yang berkeliaran di internet, atau bullying di dunia digital, memengaruhi perkembangan otak anak, membuat anak menjadi malas bergerak, sehingga sistem motoriknya lamban untuk berkembang, memengaruhi perkembangan kesehatan jiawa atau mental dan sosialnya, karena tidak biasa bersosialisasi," katanya.  (ed)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati dan Krishna Arisudana

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018