Denpasar (Antaranews Bali) - Bank Indonesia menyatakan bahwa pemerintah dan bank sentral tidak menjamin kerugian dari penggunaan mata uang virtual karena bukan merupakan sistem pembayaran yang sah dan telah dilarang dalam setiap transaksi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Causa Iman Karana di Denpasar, Kamis, mengimbau masyarakat untuk menghindari mata uang digital itu karena tidak ada aturan dan otoritas yang bertanggung jawab.
Bank sentral, lanjut dia, juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menjual, membeli atau memperdagangkan mata uang digital itu.
Causa menekankan kepada masyarakat bahwa mata uang yang sah dan diakui sebagai alat pembayaran di dalam negeri adalah Rupiah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Mengingat keberadaannya yang tidak jelas, mata uang virtual juga rentan digunakan untuk kejahatan di antaranya pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Selain itu nilai yang dimiliki mata uang virtual itu juga tidak wajar dan cenderung fluktuatif sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
Bank Indonesia sebelumnya mengindetifikasi ada 44 jenis usaha di Bali mulai dari perhotelan, jasa sewa kendaraan, kafe, hingga paket wisata yang menggunakan mata uang digital jenis bitcoin.
Namun setelah ditelusuri bank sentral bersama kepolisian melalui media sosial dan informasi masyarakat, ke-44 jenis usaha itu telah memberhentikan penggunaan bitcoin.
Meski demikian, Causa mengatakan pihaknya akan mengintensifkan pengawasan ke sejumlah lokasi agar hal serupa tidak muncul lagi.
Senada dengan Causa, Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah mengatakan bahwa pihaknya akan memberikan sanksi tegas apabila ada lembaga jasa keuangan yang mengakomodasi pemanfaatan mata uang virtual.
Hingga saat ini, lembaga jasa keuangan di Bali masih aman dan belum ada indikasi mendukung mata uang virtual.
Bitcoin, kata dia, merupakan satu dari lima besar mata uang virtual di dunia seperti ethereum, ripple, bitcoin cash dan cardano dari total mencapai sekitar 1.300 mata uang virtual yang marak beredar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Causa Iman Karana di Denpasar, Kamis, mengimbau masyarakat untuk menghindari mata uang digital itu karena tidak ada aturan dan otoritas yang bertanggung jawab.
Bank sentral, lanjut dia, juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menjual, membeli atau memperdagangkan mata uang digital itu.
Causa menekankan kepada masyarakat bahwa mata uang yang sah dan diakui sebagai alat pembayaran di dalam negeri adalah Rupiah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Mengingat keberadaannya yang tidak jelas, mata uang virtual juga rentan digunakan untuk kejahatan di antaranya pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Selain itu nilai yang dimiliki mata uang virtual itu juga tidak wajar dan cenderung fluktuatif sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
Bank Indonesia sebelumnya mengindetifikasi ada 44 jenis usaha di Bali mulai dari perhotelan, jasa sewa kendaraan, kafe, hingga paket wisata yang menggunakan mata uang digital jenis bitcoin.
Namun setelah ditelusuri bank sentral bersama kepolisian melalui media sosial dan informasi masyarakat, ke-44 jenis usaha itu telah memberhentikan penggunaan bitcoin.
Meski demikian, Causa mengatakan pihaknya akan mengintensifkan pengawasan ke sejumlah lokasi agar hal serupa tidak muncul lagi.
Senada dengan Causa, Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah mengatakan bahwa pihaknya akan memberikan sanksi tegas apabila ada lembaga jasa keuangan yang mengakomodasi pemanfaatan mata uang virtual.
Hingga saat ini, lembaga jasa keuangan di Bali masih aman dan belum ada indikasi mendukung mata uang virtual.
Bitcoin, kata dia, merupakan satu dari lima besar mata uang virtual di dunia seperti ethereum, ripple, bitcoin cash dan cardano dari total mencapai sekitar 1.300 mata uang virtual yang marak beredar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018