Negara (Antara Bali) - Sekitar 50 mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Mustaqim di Negara, Kabupaten Jembrana, mendatangi kampus perguruan tinggi tersebut untuk menuntut kejelasan Nomor Induk Kopertis (Nimko), Sabtu.
Kedatangan mahasiswa yang rata-rata berasal dari Denpasar, Banyuwangi hingga Situbondo itu diterima oleh Ketua Yayasan Al Mustaqim, Muhamad Yaser Arafat beserta Dewan Pembina, Yusi Ali Akbar dan Rektor STIT Al Mustaqim, Ilham.
Para mahasiswa itu menilai, ada yang tidak beres dalam pengurusan Nimko yang dilakukan pihak yayasan, sehingga sampai saat ini belum juga turun dari Kopertis Wilayah IV Surabaya.
Menurut mereka, sesuai dengan kerja sama yang dibuat antara pihak yayasan dengan Kopertais Wilayah IV Surabaya, Kasubdit Akademik Dan Kemahasiswaan Direktorat PAI dan DPRD Jembrana, seharusnya Nimko sudah diperoleh pada tanggal 27 Juni lalu.
Namun perhitungan waktu turunnya Nimko oleh mahasiswa ini dimentahkan oleh Yusi Ali Akbar.
Ia mengatakan, jika dihitung enam bulan setelah kerja sama itu, masih ada waktu hingga 27 Juli mendatang untuk memperoleh Nimko.
Dalam MoU oleh beberapa empat institusi itu memang tertera, penyelesaian administrasi akademik termasuk Nimko akan dilaksanakan selambat-lambatnya enam bulan setelah MoU tersebut dibuat.
"Kami dari pihak yayasan juga ingin mahasiswa secepatnya mendapatkan Nimko, tapi yang perlu diingat soal pengeluaran Nimko menjadi wewenang Kopertais," kata Yusi.
Setelah terjadi adu argumen yang berkutat seputar kepastian turunnya Nimko, mahasiswa minta agar dibuatkan surat perjanjian antara mereka dengan pihak yayasan.
"Kami ingin dalam surat perjanjian itu jelas dicantumkan sanksi bagi yayasan jika sampai tanggal yang ditentukan Nimko kami belum juga keluar," kata Eko Purwanto, koordinator mahasiswa dari Denpasar.
Usulan ini disetujui, dan dibahas antara pihak yayasan dengan perwakilan mahasiswa.
Dalam perjanjian Nomor: 01/Al-Mustaqim/VII/2011 tentang penyelesaian Nimko dan Nilko itu tercantum empat klausul.
Pertama, bila sampai tanggal 27 Juli Nimko belum juga keluar maka pihak yayasan sanggup memindahkan mahasiswa ke perguruan tinggi lain.
Selain itu, yayasan juga harus memberikan kompensasi uang Rp5 juta untuk setiap mahasiswanya.
Kedua, bagi alumni STIT Al Mustaqim, jika juga sampai tanggal tersebut tidak bisa mendapat Nimko maka yayasan membayar ganti rugi Rp10 juta per alumni.
Ketiga, jika Nimko dan Nilko sudah turun dari Kopertais, yayasan harus mempublikasikannya lewat media cetak dan elektronik.
Terakhir, pihak yayasan juga sanggup dituntut secara hukum jika sampai waktu yang ditentukan Nimko dan Nilko tidak juga turun.
Dalam perjanjian ini mahasiswa diwakili Muhammad Ali, AR dan yayasan langsung oleh Ketua Yayasan Al Mustaqim, Muhammad Yaser Arafat.
Gonjang-ganjing di STIT Al Mustaqim ini sebenarnya sudah mulai terasa sejak awal tahun 2010 lalu.
Saat itu beredar surat dari Dirjen Pendidikan Agama Islam, Departemen Agama yang minta proses belajar mengajar di kampus itu dihentikan karena menyalahi aturan.
Aturan yang dianggap melanggar antara lain mahasiswa sejak tahun 2000 tidak didaftarkan ke Kopertais sehingga tidak memiliki Nimko sebagai legalitas.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya kampus ini benar-benar ditutup operasionalnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Kedatangan mahasiswa yang rata-rata berasal dari Denpasar, Banyuwangi hingga Situbondo itu diterima oleh Ketua Yayasan Al Mustaqim, Muhamad Yaser Arafat beserta Dewan Pembina, Yusi Ali Akbar dan Rektor STIT Al Mustaqim, Ilham.
Para mahasiswa itu menilai, ada yang tidak beres dalam pengurusan Nimko yang dilakukan pihak yayasan, sehingga sampai saat ini belum juga turun dari Kopertis Wilayah IV Surabaya.
Menurut mereka, sesuai dengan kerja sama yang dibuat antara pihak yayasan dengan Kopertais Wilayah IV Surabaya, Kasubdit Akademik Dan Kemahasiswaan Direktorat PAI dan DPRD Jembrana, seharusnya Nimko sudah diperoleh pada tanggal 27 Juni lalu.
Namun perhitungan waktu turunnya Nimko oleh mahasiswa ini dimentahkan oleh Yusi Ali Akbar.
Ia mengatakan, jika dihitung enam bulan setelah kerja sama itu, masih ada waktu hingga 27 Juli mendatang untuk memperoleh Nimko.
Dalam MoU oleh beberapa empat institusi itu memang tertera, penyelesaian administrasi akademik termasuk Nimko akan dilaksanakan selambat-lambatnya enam bulan setelah MoU tersebut dibuat.
"Kami dari pihak yayasan juga ingin mahasiswa secepatnya mendapatkan Nimko, tapi yang perlu diingat soal pengeluaran Nimko menjadi wewenang Kopertais," kata Yusi.
Setelah terjadi adu argumen yang berkutat seputar kepastian turunnya Nimko, mahasiswa minta agar dibuatkan surat perjanjian antara mereka dengan pihak yayasan.
"Kami ingin dalam surat perjanjian itu jelas dicantumkan sanksi bagi yayasan jika sampai tanggal yang ditentukan Nimko kami belum juga keluar," kata Eko Purwanto, koordinator mahasiswa dari Denpasar.
Usulan ini disetujui, dan dibahas antara pihak yayasan dengan perwakilan mahasiswa.
Dalam perjanjian Nomor: 01/Al-Mustaqim/VII/2011 tentang penyelesaian Nimko dan Nilko itu tercantum empat klausul.
Pertama, bila sampai tanggal 27 Juli Nimko belum juga keluar maka pihak yayasan sanggup memindahkan mahasiswa ke perguruan tinggi lain.
Selain itu, yayasan juga harus memberikan kompensasi uang Rp5 juta untuk setiap mahasiswanya.
Kedua, bagi alumni STIT Al Mustaqim, jika juga sampai tanggal tersebut tidak bisa mendapat Nimko maka yayasan membayar ganti rugi Rp10 juta per alumni.
Ketiga, jika Nimko dan Nilko sudah turun dari Kopertais, yayasan harus mempublikasikannya lewat media cetak dan elektronik.
Terakhir, pihak yayasan juga sanggup dituntut secara hukum jika sampai waktu yang ditentukan Nimko dan Nilko tidak juga turun.
Dalam perjanjian ini mahasiswa diwakili Muhammad Ali, AR dan yayasan langsung oleh Ketua Yayasan Al Mustaqim, Muhammad Yaser Arafat.
Gonjang-ganjing di STIT Al Mustaqim ini sebenarnya sudah mulai terasa sejak awal tahun 2010 lalu.
Saat itu beredar surat dari Dirjen Pendidikan Agama Islam, Departemen Agama yang minta proses belajar mengajar di kampus itu dihentikan karena menyalahi aturan.
Aturan yang dianggap melanggar antara lain mahasiswa sejak tahun 2000 tidak didaftarkan ke Kopertais sehingga tidak memiliki Nimko sebagai legalitas.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya kampus ini benar-benar ditutup operasionalnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011