Kolombo (Antara Bali) - Sri Lanka hari Senin mencabut larangan perjalanan bagi warga asing ke bekas zona perang di wilayah utara negara pulau itu ketika pariwisata berkembang pesat setelah berakhirnya perang tiga dasawarsa pada Mei 2009.

Kementerian perhahanan menyatakan mencabut persyaratan bahwa pemegang paspor asing harus memperoleh persetujuan terlebih dulu untuk pergi ke wilayah utara. Pencabutan ketentuan itu berlaku segera.

Larangan perjalanan itu diberlakukan selama tahap akhir perang, sejak 2006.

"Karena keadaan negara telah kembali normal... larangan perjalanan bagi pemegang paspor asing tidak lagi diperlukan," kata kementerian pertahanan di situs beritanya, www.defence.lk.

Militer Sri Lanka memerangi pemberontak Macan Tamil selama lebih dari seperempat abad.

Larangan perjalanan ke bekas zona perang itu diberlakukan pada warga asing, wartawan dan pengamat independen, bahkan setelah Macan Tamil dikalahkan.

Masyarakat internasional dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, larangan itu menghalangi mereka memperoleh informasi independen mengenai insiden-insiden yang dituduhkan sebagai pelanggaran HAM pasca perang. Pemerintah Sri Lanka telah berulang kali membantah kejadian semacam itu.

Tekanan meningkat terhadap Kolombo sejak Saluran 4 Inggris menyiarkan sebuah film dokumenter yang menunjukkan eksekusi tahanan dan mayat gerilyawati Tamil yang tampaknya dilecehkan secara seksual.

Laporan PBB belum lama ini menuduh pasukan pemerintah melakukan kejahatan perang, dengan mengeksekusi para pemimpin pemberontak yang menyerah.

Menurut perkiraan PBB, sedikitnya 7.000 warga sipil tewas dalam ofensif final pasukan Sri Lanka terhadap Macan Tamil yang dikalahkan dua tahun lalu.

Sri Lanka membantah segala tuduhan kejahatan perang dan menolak seruan-seruan bagi penyelidikan internasional.

Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei 2009 mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.

Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.

Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.

Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.

Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.

Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, juga menolak seruan-seruan bagi gencatan senjata dan menekankan bahwa Macan Tamil harus meletakkan senjata dan mengizinkan warga sipil keluar dari daerah-daerah yang masih mereka kuasai.

Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.

Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.

PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.

Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.

Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011