Denpasar (Antara Bali) - Pameran tunggal seni cukil kayu (xilografi) karya Irwanto Lentho di Bentara Budaya Bali di Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, Ketewel, Kabupaten Gianyar, mendapat perhatian banyak wisatawan/warga negara asing.
Orang-orang "bule" terlihat berseliweran saat pembukaan pameran oleh budayawan Prof Dr I Made Bandem, MA yang juga diisi pembacaan puisi menampilkan Abu Bakar, Jumat (24/6) malam dan dijadwalkan berlangsung hingga 3 Juli 2011, sebagai rangkaian kegiatan bulanan BBB.
Pembukaan pameran puluhan karya seni cukil kayu tersebut mendapat sambutan hangat dan positif dari seniman Bali, asal berbagai daerah dan kota serta sejumlah warga negara asing.
Beberapa warga negara asing bahkan tidak canggung-canggung untuk kemudian meminta tanda tangan Irawan Lentho "sang pencukil" di buku yang baru dibagikan oleh panitia.
Irwanto Lentho merupakan lulusan ISI Yogyakarta yang bergelut di bidang seni cukil sejak tahun 1989. Lahir di Sukoharjo 4 April 1979, Lentho tinggal dan besar di sebuah dusun kecil di Ngestiharjo, Bantul.
Karyanya sudah menyabet beberapa penghargaan, di antaranya finalis Philip Moris ART AWARd 2001, finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, 2 Winner of Graphic Triennale Indonesia III 2009, dan nominasi Indonesia Art Award 2010.
Sejak tahun 1997 hingga 2011, dia beberapa kali menggelar pameran di Indonesia bahkan hingga Singapura. Seniman yang dikenal sebagai "sang pencukil" itu pernah mengalami hal tak terduga saat hendak menggelar pameran di Singapura.
Ia sempat mendapat status cekal (cegah tangkal) dari pemerintah Singapura terkait dengan daerah tempat tinggalnya, Ngestiharjo, Bantul, yang dianggap identik dengan sarang teroris.
Apalagi kunjungannya ke Singapura saat itu bertepatan maraknya peristiwa bom buku, dan Irwanto Lentho juga membawa sebuah kotak kecil berisi peralatan seni mencungkil kayu.
Menurut Aminudin TH Siregar, keunikan cukilan Irwanto Lentho yang dicetak tunggal (monoprint, tidak memiliki edisi) masih menarasikan pandangan personalnya terhadap dunia sekitar dengan memakai amsal-amsal yang mudah dicerna dan dinikmati.
Selain itu, dia tidak meluap-luapkan kerumitan kode yang seringkali menjebak seniman ke ruang pendiktean sosial yang depresif dan monoton. "Sebaliknya, dia seperti menggambarkan 'keceriaan dari alam fantasinya'," komentarnya.
Seni cukil kayu (xylografi) merupakan bagian dari seni grafis dimana gambar diâ€cukil†pada media kayu yang kemudian di capkan pada selembar kain atau kanvas.
Kerajinan seni ini telah lama dikenal oleh masyarakat China saat menggambarkan Budha Swastika dalam ajaran Mandala Budha. Salah satu seni cukil yang cukup fenomenal pada abad ke 17 adalah karya Katsushika Hokusai yang menggambarkan Gunung Fuji dari tiga puluh enam sudut pandang berbeda.
Menurut Lentho, pembuatan karya tersebut memerlukan ketelatenan karena untuk menyelesaikan satu buah karya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. "Seniman memerlukan 'mood' yang besar untuk bisa menghasilkan karya yang luar biasa," ucapnya.
Ketekunannya dalam membuat karya tersebut membuahkan hasil bahwa sejak pertama kali diresmikan di Bali beberapa karya seni cukil yang dipamerkan sudah dipesan dan dihargai sekitar Rp30 juta untuk setiap karya.
Lentho berharap apa yang telah ia usahakan tersebut dapat turut memberi warna perkembangan karya seni di Bali serta menginspirasi para seniman untuk terus berinovasi, kreatif, dan ulet dalam menghasilkan suatu karya.
Meski teknologi telah berkembang, ia tetap optimistis untuk terus mempertahankan aliran seninya tersebut. Hal itu karena seni bukan suatu hal instan tetapi sebuah proses perwujudan dari imajinasi yang kuat, tambahnya mengenai prinsip seni yang dianutnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Orang-orang "bule" terlihat berseliweran saat pembukaan pameran oleh budayawan Prof Dr I Made Bandem, MA yang juga diisi pembacaan puisi menampilkan Abu Bakar, Jumat (24/6) malam dan dijadwalkan berlangsung hingga 3 Juli 2011, sebagai rangkaian kegiatan bulanan BBB.
Pembukaan pameran puluhan karya seni cukil kayu tersebut mendapat sambutan hangat dan positif dari seniman Bali, asal berbagai daerah dan kota serta sejumlah warga negara asing.
Beberapa warga negara asing bahkan tidak canggung-canggung untuk kemudian meminta tanda tangan Irawan Lentho "sang pencukil" di buku yang baru dibagikan oleh panitia.
Irwanto Lentho merupakan lulusan ISI Yogyakarta yang bergelut di bidang seni cukil sejak tahun 1989. Lahir di Sukoharjo 4 April 1979, Lentho tinggal dan besar di sebuah dusun kecil di Ngestiharjo, Bantul.
Karyanya sudah menyabet beberapa penghargaan, di antaranya finalis Philip Moris ART AWARd 2001, finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, 2 Winner of Graphic Triennale Indonesia III 2009, dan nominasi Indonesia Art Award 2010.
Sejak tahun 1997 hingga 2011, dia beberapa kali menggelar pameran di Indonesia bahkan hingga Singapura. Seniman yang dikenal sebagai "sang pencukil" itu pernah mengalami hal tak terduga saat hendak menggelar pameran di Singapura.
Ia sempat mendapat status cekal (cegah tangkal) dari pemerintah Singapura terkait dengan daerah tempat tinggalnya, Ngestiharjo, Bantul, yang dianggap identik dengan sarang teroris.
Apalagi kunjungannya ke Singapura saat itu bertepatan maraknya peristiwa bom buku, dan Irwanto Lentho juga membawa sebuah kotak kecil berisi peralatan seni mencungkil kayu.
Menurut Aminudin TH Siregar, keunikan cukilan Irwanto Lentho yang dicetak tunggal (monoprint, tidak memiliki edisi) masih menarasikan pandangan personalnya terhadap dunia sekitar dengan memakai amsal-amsal yang mudah dicerna dan dinikmati.
Selain itu, dia tidak meluap-luapkan kerumitan kode yang seringkali menjebak seniman ke ruang pendiktean sosial yang depresif dan monoton. "Sebaliknya, dia seperti menggambarkan 'keceriaan dari alam fantasinya'," komentarnya.
Seni cukil kayu (xylografi) merupakan bagian dari seni grafis dimana gambar diâ€cukil†pada media kayu yang kemudian di capkan pada selembar kain atau kanvas.
Kerajinan seni ini telah lama dikenal oleh masyarakat China saat menggambarkan Budha Swastika dalam ajaran Mandala Budha. Salah satu seni cukil yang cukup fenomenal pada abad ke 17 adalah karya Katsushika Hokusai yang menggambarkan Gunung Fuji dari tiga puluh enam sudut pandang berbeda.
Menurut Lentho, pembuatan karya tersebut memerlukan ketelatenan karena untuk menyelesaikan satu buah karya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. "Seniman memerlukan 'mood' yang besar untuk bisa menghasilkan karya yang luar biasa," ucapnya.
Ketekunannya dalam membuat karya tersebut membuahkan hasil bahwa sejak pertama kali diresmikan di Bali beberapa karya seni cukil yang dipamerkan sudah dipesan dan dihargai sekitar Rp30 juta untuk setiap karya.
Lentho berharap apa yang telah ia usahakan tersebut dapat turut memberi warna perkembangan karya seni di Bali serta menginspirasi para seniman untuk terus berinovasi, kreatif, dan ulet dalam menghasilkan suatu karya.
Meski teknologi telah berkembang, ia tetap optimistis untuk terus mempertahankan aliran seninya tersebut. Hal itu karena seni bukan suatu hal instan tetapi sebuah proses perwujudan dari imajinasi yang kuat, tambahnya mengenai prinsip seni yang dianutnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011