Kuta (Antara Bali) - Ikatan Akuntan Indonesia membentuk tim implementasi sebagai persiapan penerapan standar akuntansi internasional yang rencananya dimulai pada 2012.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI) Prof Mardiasmo di sela penyelenggaraan "IFRS Regional Policy Forum & Seminar IAI" yang diikuti sekitar 300 peserta dari 21 negara, di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin.
"Kita akan mulai menerapkan IFRS pada 2012. Sekarang ini kita harus mulai bekerja dan membentuk tim implementasi. Tim tersebut akan bergerak ke BPK, perpajakan, perbankan, termasuk Bank Indonesia sebagai regulator IFRS," ujarnya.
Menurut Mardiasmo, persiapan tersebut harus dilakukan termasuk oleh akademisi dari berbagai perguruan tinggi. "Dengan demikian mahasiswa akuntansi tidak lagi menggunakan 'cost historical', tetapi sudah menerapkan laporan standar," ucapnya.
Dijelaskan bahwa perbedaan antara sistem yang terdahulu dengan yang kini diberlakukan, yakni saat ini sudah menggunakan "fair value" atau "market value".
"Laporannya tidak bersifat 'historical' atau nilai aset sejak awal, tapi yang kekinian," katanya.
Sebagai contoh, sistem pelaporan yang terdahulu mencatat harga aset pada tahun pembeliannya. "Sekarang kita melihat tanah dan gedung berdasarkan nilai kini. 'Market value' nya bagaimana. Jadi isitilahnya 'Mark to Market'," kata Mardiasmo.
Sistem IFRS, menurut dia, lebih banyak digunakan dalam pengambilan keputusan. Sifatnya lebih ke pengambilan keputusan, yaitu ke sektor bisnis dan bukan condong ke arah sektor publik.
Dalam penerapan IFRS, ujarnya, Indonesia sesungguhnya lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Namun demikian, Indonesia masih perlu berhati-hati untuk memberlakukan sistem standar akuntansi internasional itu.
"Jangan sampai kita terjebak niatan yang tidak baik seperti nilai yang lebih tinggi, 'window dressing' dan sebagainya. Jadi di satu sisi kita mempertahankan 'historical cost' atau harga yang dulu sehingga benar-benar 'auditable', tetapi di sisi lain juga perlu membandingkan dengan 'fair value' dalam pengambilan keputusan agar kita lebih bisa menggambarkan kondisi yang nyata," tambahnya.
Sementara Rosita Uli Sinaga dari Dewan Standar Akuntansi menegaskan, pada dasarnya "acounting standard" dibuat agar laporan keuangan menjadi lebih relevan.
"Artinya, jika hal itu diimplementasi dengan benar, kita berharap laporan keuangan tersebut lebih bisa memperlihatkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian investor dan terutama untuk perusahaan publik, dapat membuat keputusan yang lebih baik," katanya.
Walaupun demikian, standar akuntansi bukan satu-satunya cara yang dapat mengurangi kecurangan. "Kalau pelaku-pelakunya yang menyusun, lalu pemerintahan juga tidak disiplin, maka ini akan menjadi sia-sia," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Rosita, dibutuhkan sinergi dari semua pihak.
Terkait penerapan IFRS, Rosita menjelaskan bahwa sektor perbankkan menjadi sektor yang tersulit untuk memberlakukannya. Namun demikian, Indonesia sudah berhasil menerapkannya.
Beberapa sektor lainnya yang cukup signifikan tingkat kesulitannya adalah asuransi yang mulai akan diberlakukan pada 2012. Untuk sektor agrikultur, hingga saat ini Dewan Akuntansi belum dapat memutuskan, apakah akan menerapkannya atau tidak.
"Karena bila diadopsi maka seluruh asetnya akan diukur dengan 'fair value' dan kami sungguh harus berhati-hati untuk memberlakukannya," kata Rosita.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI) Prof Mardiasmo di sela penyelenggaraan "IFRS Regional Policy Forum & Seminar IAI" yang diikuti sekitar 300 peserta dari 21 negara, di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin.
"Kita akan mulai menerapkan IFRS pada 2012. Sekarang ini kita harus mulai bekerja dan membentuk tim implementasi. Tim tersebut akan bergerak ke BPK, perpajakan, perbankan, termasuk Bank Indonesia sebagai regulator IFRS," ujarnya.
Menurut Mardiasmo, persiapan tersebut harus dilakukan termasuk oleh akademisi dari berbagai perguruan tinggi. "Dengan demikian mahasiswa akuntansi tidak lagi menggunakan 'cost historical', tetapi sudah menerapkan laporan standar," ucapnya.
Dijelaskan bahwa perbedaan antara sistem yang terdahulu dengan yang kini diberlakukan, yakni saat ini sudah menggunakan "fair value" atau "market value".
"Laporannya tidak bersifat 'historical' atau nilai aset sejak awal, tapi yang kekinian," katanya.
Sebagai contoh, sistem pelaporan yang terdahulu mencatat harga aset pada tahun pembeliannya. "Sekarang kita melihat tanah dan gedung berdasarkan nilai kini. 'Market value' nya bagaimana. Jadi isitilahnya 'Mark to Market'," kata Mardiasmo.
Sistem IFRS, menurut dia, lebih banyak digunakan dalam pengambilan keputusan. Sifatnya lebih ke pengambilan keputusan, yaitu ke sektor bisnis dan bukan condong ke arah sektor publik.
Dalam penerapan IFRS, ujarnya, Indonesia sesungguhnya lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Namun demikian, Indonesia masih perlu berhati-hati untuk memberlakukan sistem standar akuntansi internasional itu.
"Jangan sampai kita terjebak niatan yang tidak baik seperti nilai yang lebih tinggi, 'window dressing' dan sebagainya. Jadi di satu sisi kita mempertahankan 'historical cost' atau harga yang dulu sehingga benar-benar 'auditable', tetapi di sisi lain juga perlu membandingkan dengan 'fair value' dalam pengambilan keputusan agar kita lebih bisa menggambarkan kondisi yang nyata," tambahnya.
Sementara Rosita Uli Sinaga dari Dewan Standar Akuntansi menegaskan, pada dasarnya "acounting standard" dibuat agar laporan keuangan menjadi lebih relevan.
"Artinya, jika hal itu diimplementasi dengan benar, kita berharap laporan keuangan tersebut lebih bisa memperlihatkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian investor dan terutama untuk perusahaan publik, dapat membuat keputusan yang lebih baik," katanya.
Walaupun demikian, standar akuntansi bukan satu-satunya cara yang dapat mengurangi kecurangan. "Kalau pelaku-pelakunya yang menyusun, lalu pemerintahan juga tidak disiplin, maka ini akan menjadi sia-sia," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Rosita, dibutuhkan sinergi dari semua pihak.
Terkait penerapan IFRS, Rosita menjelaskan bahwa sektor perbankkan menjadi sektor yang tersulit untuk memberlakukannya. Namun demikian, Indonesia sudah berhasil menerapkannya.
Beberapa sektor lainnya yang cukup signifikan tingkat kesulitannya adalah asuransi yang mulai akan diberlakukan pada 2012. Untuk sektor agrikultur, hingga saat ini Dewan Akuntansi belum dapat memutuskan, apakah akan menerapkannya atau tidak.
"Karena bila diadopsi maka seluruh asetnya akan diukur dengan 'fair value' dan kami sungguh harus berhati-hati untuk memberlakukannya," kata Rosita.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011