Pura Besakih, tempat suci umat Hindu yang menyimpan ketenangan dan kedamaian itu berlokasi di lereng kaki Gunung Agung (3.143 meter) yang kini berstatus Awas (Level IV) berpotensi terjadi letusan dengan estimasi ketinggian 5 hingga 10 kilometer.

Tempat suci itu konon fondasinya dibangun Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi) itu terdiri atas 16 pura menjadi satu-kesatuan tak terpisah dan masing-masing memiliki benda saktral atau Pratime.

Di tiga pura kawasan suci Besakih, yakni Pura Bangun Sakti, Basukian, dan Pura Pangubengan telah dilaksanakan ritual "Pengelempana" atau penduh jagat pada hari Rabu (20/9), tutur Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Jumat (22/9) telah meningkatkan status Gunung Agung dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV).

Dengan demikian, wilayah steril yang semula radius 6 kilometer dari puncak gunung itu diperluas menjadi 9 kilometer, serta ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah utara, timur laut, tenggara, dan selatan-barat daya sehingga kawasan suci itu masuk dalam radius berbahaya.

Dengan demikian, kawasan suci Pura Besakih masuk dalam radius wilayah berbahaya yang harus dikosongkan.

Berdasarkan hasil rapat dengan para pangemong (penanggung jawab wilayah) dan pemangku (pemuka agama) Pura Besakih benda-benda sakral yang disucikan pada 16 kompleks itu tidak akan dipindahkan meskipun status Gunung Agung sudah pada Level Awas.

Dalam rapat yang membahas upaya penyelamatan "pratima" menurut Prof. Sudiana yang juga Guru Besar Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar tidak akan memindahkan benda-benda saktral di puluhan pura yang berada di lereng kaki Gunung Agung.

Hal itu menurut para pangemong dan pemangku sesuai dengan sejarah Gunung Agung empat kali pernah meletus, yakni pada tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 itu belum pernah benda-benda yang disakralkan di Pura Besakih itu bergeser ke mana-nama dan selama ini terbukti aman.

Mereka pun meyakini kali ini. Jika terjadi erupsi Gunung Agung, juga tidak akan menyentuh pratima-pratima di kawasan Pura Besakih, kata Prof. Sudiana.

Setiap Hari Berdoa

Puluhan para pemimpin upacara umat Hindu (pemangku) di 16 kompleks Pura Besakih setiap hari melakukan doa agar keadaan pura tetap aman dan masyarakat juga selamat di tengah kemungkinan terjadinya erupsi Gunung Agung.

Meskipun Gunung Agung sudah berstatus Awas sejak 22 September 2017, para "pemangku" Pura Besakih masih tetap melaksanakan kewajibannnya menghaturkan sarana persembahan di pura terbesar di Bali itu.

Mereka didampingi aparat keamanan serta dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karangasem. Hal itu dimaksudkan agar mereka terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan jika terjadi erupsi Gunung Agung.

Demikian pula, untuk menghindari benda sakral dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, juga telah dilakukan koordinasi dengan aparat keamanan dalam bentuk keamanan terpadu.

Namun, "pratima" maupun lontar-lontar dari sejumlah pura dadia (pura keluarga) dan pura kahyangan tiga (pura di lingkungan desa adat) Besakih sudah dikumpulkan dan disimpan di tempat yang aman.

Hal itu dilakukan karena sebagian besar masyarakat di lereng Gunung Agung telah mengungsi sebanyak 96.086 orang tersebar ke 430 titik di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

Sementara itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika meminta semua pihak memikirkan dan mengkaji untuk penyelamatan "pratima" atau benda sakral di kawasan Pura Besakih.

Aset-aset pura besakih itu harus dapat diamankan dan diselamatkan karena semua itu adalah perjalanan sejarah umat Hindu. Oleh sebab itu, semua pihak juga memikirkan dampak terburuk dari erupsi Gunung Agung.

Menurut Mangku Pastika di sela-sela meninjau Posko Pengungsian Gunung Agung di Tanah Ampo, Karangasem, benda-benda suci yang tersebar pada 16 kompleks Pura Besakih semuanya aset bersejarah dan spiritual.

Oleh karena itu, harus diamankan agar tidak sampai rusak. Kalau bisa, juga disimpan sementara di tempat yang aman dan suci yang jauh dari kawasan bencana. Misalnya, disimpan di Puri Klungkung.

Hal itu juga sangat tergantung pada "penyungsung" (penanggung jawab) pura untuk menyelamatkan benda pusaka tersebut.

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana Adaerah (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan bahwa pihaknya memasang lima unit sirene peringatan dini jika Gunung Agung itu meletus.

Lokasi pemasangan sirene tersebut, antara lain, di Polsek Kubu, Pos Polisi Tianyar, Polsek Selat, dan Polsek Rendang di Kabupaten Karangasem. Sirene "Mobile iCast Rapid Deployment Public Notification System" itu dipasang sebagai sarana peringatan kepada masyarakat agar segera mengungsi atau menghindar dari bahaya letusan Gunung Agung.

Suara sirene itu mampu menjangkau masyarakat dengan kekuatan bunyi mencapai 2 kilometer. Sirene dibunyikan secara manual oleh petugas jaga yang terhubung Pos Komando Utama di Karangasem.

Selain itu, juga telah dipasang rambu-rambu evakuasi yang menginformasikan posisi di lapangan dari radius berbahaya. Peta radius berbahaya letusan Gunung Agung ditetapkan di peta dengan rambu bertuliskan "Anda saat ini berada di radius 9 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung".

PVMBG mencatat aktivitas Gunung Agung tetap tinggi dengan 329 kali gempa vulkanik dangkal, 444 kali gempa vulkanik dalam, dan 56 kali gempa tektonik lokal hingga Rabu (27/9) pukul 18.00 Wita.

Secara visual asap kawah bertekanan lemah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 50 meter di atas kawah puncak. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta dan I Ketut Sutika

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017