Denpasar (Antara Bali) - Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Dr. Bayu Krisnamurthi menilai peran perempuan masih cenderung termarginalkan dalam pembangunan bidang pertanian di Nusantara.

Bayu Krisnamurthi melalui surat elektronika yang diterima Antara di Denpasar, Kamis, menegaskan bahwa PERHEPI mendorong pemerintah untuk memberikan peluang lebih besar bagi perempuan dalam berusaha di sektor pertanian.

"Karena perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola bisnis sektor pertanian. Perempuan mampu meraup keuntungan lebih tinggi 20 persen ketimbang laki-laki ketika mengelola bisnis produk hortikultura," kata Bayu Krisnamurthi.

Dalam pernyataan di sela-sela kegiatan "International Conference And Congress of The Indonesian Seciety of Agriculture Economics (ICC-ISAE)" di Sanur, Bali (23/8), ia menyatakan sumberdaya manusia (SDM) perempuan sepatutnya difasilitasi agar kapasitasnya dalam bidang bisnis pertanian kian meningkat.

Menurut dosen senior IPB itu, munculnya kelompok wanita tani (KWT) di masing-masing desa menjadi lembaga yang tepat bagi petani perempuan untuk meningkatkan dirinya dalam merencanakan usaha tani, mengelola dan memasarkan produksi, sehingga kegiatannya menghasilkan keuntungan untuk menambah pendapatan keluarga.

"Konferensi internasional Perhepi kali ini membahas tentang peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi aktivitas pembangunan di sektor pertanian," katanya.

Mantan Wakil Menteri Perdagangan pada masa pemerintahan Presiden SBY itu menyebut peran pemerintah itu mulai dari penyediaan regulasi, perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan.

"Selama ini, pemerintah memiliki perhatian yang cukup terhadap sektor pertanian. Kami dari Perhepi mempunyai kewajiban dalam mengawal kebijakan pemerintah agar selalu berpihak pada petani," katanya.

Hingga kini, anggota Perhepi secara kelembagaan atau individu melakukan penelitian dan kajian strategis dalam pengembangan ekonomi pertanian. Hasil-hasilnya disampaikan ke publik, termasuk pemerintah, sebagai bahan pertimbangan menyusun kebijakan pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani.

"Kali ini, Perhepi membahas tentang rantai pasok produk-produk pertanian. Alasannya, perubahan perilaku konsumen produk pertanian harus disikapi secara tepat oleh pengusaha di sektor pertanian," katanya.

Ia mencontohkan permintaan produk hortikultura seperti sayur, buah dan bunga yang jumlahnya ada 74 persen datang dari kawasan perkotaan dan pelaku bisnis dalam "rantai pasokan" itu tercatat 54 persen kaum perempuan.

"Fakta ini harus disikapi secara jeli oleh pemerintah dan pelaku usaha sehingga distribusi produk pertanian tidak sampai salah sasaran," katanya.

Menyinggung soal kecilnya nilai keuntungan yang diterima petani dalam `rantai pasok` produk pertanian? Bayu Krisnamurthi mengajak semua pihak untuk hati-hati mengambil kebijakan.

"Jangan sampai tujuannya membela petani, namun kebijakan itu malah mematikan bisnis pertanian itu sendiri," tegasnya.

Dalam rantai pasok produk pertanian ada berbagai fungsi yang mesti diambil secara proporsional oleh petani maupun pedagang perantara, seperti sortasi, penyimpanan, pengepakan, pengemasan dan pengangkutan.

"Selama ini, petani hanya berperan memproduksi semata, sementara fungsi lain diambil pedagang perantara, mengingat setiap fungsi itu membutuhkan biaya, maka pelakunya mesti mendapatkan insentif yang setara," katanya.

Jika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan petani, maka fasilitas untuk mengelola fungsi sortasi, pengemasan dan yang lainnya mesti disediakan. Hal ini berarti ada biaya investasi dan penyiapan SDM yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.

Kegiatan internasional tersebut berlangsung selama tiga hari dengan melibatkan ahli-ahli ekonomi pertanian dari 13 negara yang membahas 91 makalah, di antaranya dari Jepang, Belanda, Australia, serta tuan rumah Indonesia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017