Denpasar  (Antara Bali) - Ribuan masyarakat Bali menonton "Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (SHOF)" yang diikuti sekitar 200 pemuda/pemudi di Banjar Kaja Sesetan, Kota Denpasar, yang bertepatan dengan "Ngembak Geni" atau sehari setelah perayaan Nyepi Tahun Baru Caka 1939.

"Kegiatan tersebut merupakan ajang tahunan, yang mampu menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara yang sengaja datang untuk menyaksikan pagelaran secara langsung, bahkan sambil mendokumentasikan secara pribadi," kata Sekda Kota Denpasar, AAN Rai Iswara, di sela-sel menyaksikan SHOF di Denpasar, Rabu.

Menurut dia, hal itu membuktikan bahwa tradisi "Omed-Omedan" memiliki ciri khas tersendiri yang telah dikenal banyak pihak, sehingga kegiatan tersebut mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat setempat maupun para pengunjung yang datang.

Pihaknya menilai kegiatan yang merupakan suatu tradisi yang sakral itu diharapkan mampu meningkatkan keyakinan beragama, khususnya para generasi muda, karena sebelum prosesi dimulai diawali dengan sembahyang bersama, sekaligus diberikan pengarahan oleh tetua setempat.

Upaya tersebut juga menjadi bingkai agama yang kuat karena terdapat budaya, sosial, dan religius. Hal itu salah satu unsur budaya yang adi luhung para pemuda (trana truni) secara konkret dalam mewujudkan visi misi kota yang berbudaya.

"Saya turut mendukung agar kegiatan ini dilestarikan dan menjaga eksistensinya dengan tetap bersandar pada budaya, gayung sambut serta dukungan masyarakat penting dalam mempercepat tercapai visi misi kota Denpasar yang berbudaya," ujar Rai Iswara.

Selain itu, kegiatan tersebut akan berdampak pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena melibatkan sejumlah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk melakukan pameran dan berjualan.

Oleh karena itu, tradisi "Omed-Omedan" memiliki dampak yang signifikan dan mampu memberikan eksistensi kota Denpasar dan masyarakat sekitar.

Sementara itu, Banjar Kaja Sesetan, Jero Wayan Sunarya, menambahkan kegiatan tersebut telah dilakukan secara turun-temurun bagi pemuda-pemudi yang saling tarik-menarik dan berpelukan dalam sebuah tradisi dan bagian atraksi ritual.

"Prosesi berlangsung sekitar dua jam, dimana seorang pemudi yang masih lajang dari banjar setempat dipilih secara acak, lalu dipanggul beramai-ramai tepat di depan balai banjar yang berlokasi di sisi tengah Jalan Raya Sesetan Denpasar," katanya.

Selanjutnya, dari arah berlawanan juga dipanggul seorang pemuda lajang hingga keduanya bertemu dan terjadinya aksi tarik-menarik dan berangkulan.

Para peserta "Omed Omedan" terutama yang wanita terlihat berusaha membungkuk dan menghindar agar tak sampai terjadi ciuman dalam aksi tarik-menarik itu.

Untuk memisahkan "pergulatan" pemuda-pemudi yang dipanggul ini, panitia kemudian menyiramkan air dengan menggunakan ember. Demikian, silih berganti satu persatu remaja Banjar Kaja Sesetan mengikuti ritual tradisi itu.

Kemeriahan semakin lengkap saat siraman air dari ember-ember dan selang air juga diguyurkan kepada penonton dan peserta secara tidak beraturan oleh pecalang (petugas pengamanan adat) dan panitia pelaksana.

Siapapun yang berada dalam arena itu bisa menjadi basah kuyup oleh siraman air ini dan hal itulah yang juga menjadi daya tarik tersendiri pada ritual yang dilaksanakan sehari setelah Nyepi tersebut.

"Omed-Omedan" umumnya diikuti oleh mereka Sekaa Teruna Teruni (STT) yang telah akil baligh dengan batas umur sekitar 30 tahun dan belum menikah. Bahkan ada juga yang kemudian pasangan muda-mudi itu berlanjut hingga ke jenjang perkawinan karena perkenalannya bermula dari mengikuti prosesi Omed-Omedan.

Mereka mengikuti ritual dengan menggunakan pakaian adat ringan, yakni menggunakan baju kaos seragam yang disediakan panitia dan di bawahnya mengenakan kain yang diikat selendang.

"Patut kami luruskan, Omed Omedan ini bukanlah tradisi ciuman massal. Omed dalam bahasa Bali artinya tarik, sehingga Omed Omedan itu sesungguhnya bermakna saling menarik. Jika antartangan saling tarik bisa menyebabkan terkilir, sehingga dalam praktiknya terjadilah saling berangkulan," katanya.

Saat berangkulan atau berpelukan itulah terkadang bisa terjadi gesekan antarpipi peserta karena mereka sama-sama dipanggul dan didorong oleh peserta lainnya.

Selain itu, tradisi "Omed-Omedan" sudah dilangsungkan sejak abad ke-17 dan hingga saat ini belum pernah sekalipun atraksi ini ditiadakan.

Pihaknya mengharapkan, masyarakat mengetahui tujuan atraksi sesungguhnya sebagai wujud menjalin keakraban antarwarga banjar dalam menyambut Tahun Baru Saka atau Hari Suci Nyepi. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk berbuat hal yang vulgar di depan umum.

Bahkan, dahulu sebelum ada imbauan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyatakan umat tidak boleh pergi keluar rumah, tradisi ini dilaksanakan tepat pada waktu Nyepi.

"Maklumlah pemahaman warga saat itu mengenai Nyepi lebih menekankan pada `Amati Geni` atau tidak boleh menyalakan api, sedangkan aktivitas lainnya masih tetap dilaksanakan seperti biasa," ujarnya.

Latar belakang ritual ini juga sebagai bagian melestarikan budaya yang telah turun-temurun dan wujud bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, sebelum barisan peserta Omed Omedan dari kalangan pemuda dan barisan pemudi yang posisinya berseberangan bersiap-siap, terlebih dahulu digelar persembahyangan di Pura Banjar Kaja dengan dipimpin jero mangku setempat.

"Tujuan persembahyangan ini agar kegiatan Omed-Omedan dapat berjalan lancar dan tidak sampai terjadi cedera antarpeserta. Selain itu dihaturkan sesajen yang namanya `pejati` sebagai bentuk permohonan izin kepada yang berstana di pura setempat agar kami diberikan kelancaran dalam prosesi," ujarnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Wayan Artaya

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017