Terkuaknya aliran dana sangkaan korupsi megaproyek KTP Elektronik (KTP-e) dalam surat dakwaan KPK yang dibacakan pada 9 Maret 2017 yang diduga mengalir kepada sejumlah partai politik (parpol), yang diantaranya diduga digunakan untuk membiayai kongres/munas Parpol membuat masyarakat menuntut agar Parpol tersebut dibubarkan.

Tuntutan masyarakat untuk membubarkan Parpol jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara sistematis itu memiliki landasan hukum dan landasan konstitusional yang kuat, meskipun undang-undang tentang MK membatasi bahwa hanya pemerintah yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam proses pembubaran parpol di Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan perkataan lain bahwa hanya pemerintah (Jaksa Agung atau Menteri yang ditunjuk oleh Presiden) yang memiliki "legal standing" sebagai pemohon dalam proses permohonan pembubaran Parpol di MK.

Berdasarkan Undang-Undang Parpol, pembubaran parpol dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni:
a. dibubarkan oleh MK,
b. membubarkan diri, atau
c. bergabung dengan parpol lain.
Namun, hampir dipastikan bahwa jika mengharapkan parpol untuk membubarkan dirinya jika terlibat korupsi merupakan sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin, sehingga satu-satunya harapan ialah melalui prosedur pembubaran parpol oleh MK.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tindak pidana korupsi dapat dijadikan alasan pembubaran parpol? Sebagai sebuah negara yang menganut paham "welfarestate" (negara kesejahteraan), maka Republik ini didirikan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya sebagaimana dimaksud dalam Aline ke-IV UUD NRI Tahun 1945, yakni '...untuk memajukan kesejahteraan umum'. Oleh karena itu, seluruh suprastruktur kekuasaan, termasuk parpol haruslah mewujudkan tujuan bernegara tersebut, yakni mensejahterahkan rakyat, bukan malah sebaliknya melakukan tindak pidana korupsi yang hanya memperkaya atau mensejahterahkan kelompoknya sendiri.

Dengan demikian, jika parpol melakukan tindak pidana korupsi maka parpol telah melanggar konstitusi. Dengan perkataan lain bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan serius yang bertentangan dengan semangat bernegara, yakni semangat mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana tercantum dalam konstitusi.

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK diatur bahwa alasan pembubaran parpol adalah jika ideologi, asas, tujuan, program dan/atau "kegiatan" parpol bertentangan dengan UUD 1945. Dalam konteks ini, tindak pidana korupsi merupakan kegiatan parpol yang bertentangan dengan UUD 1945, yakni bertentangan dengan semangat negara kesejahteraan sebagaimana tercantum dalam Alinea Ke-4 UUD 1945.

Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan kegiatan parpol ialah segala tindakan yang dilakukan oleh parpol secara organisasi atau sistematis atas pengetahuan atau persetujuan pengurus parpol, sehingga jika tindak pidana korupsi itu dilakukan secara sistematis dalam makna bahwa jika tindak pidana korupsi tersebut sengaja dilakukan serta diketahui oleh pengurus parpol maka sudah cukup dasar untuk dijadikan alasan pembubaran parpol tersebut.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol disebutkan bahwa Parpol dilarang melanggar UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, namun untuk membubarkan parpol karena alasan melanggar larangan tersebut haruslah melalui mekanisme pembekuan sementara.

Saya berpendapat bahwa pembubaran parpol yang memenuhi kualifikasi Pasal 68 ayat (2) UU MK tidak perlu melalui proses pembekuan sementara, akan tetapi dapat diajukan permohonan pembubaran parpol secara langsung ke MK oleh Jaksa Agung atau Menteri yang ditunjuk oleh Presiden. Hal ini sudah sesuai dengan Peraturan MK No. 12 Tahun 2008.

Namun, pertanyaan yang masih tersisa adalah bagaimana jika tindak pidana korupsi itu terbukti dilakukan juga oleh parpol yang sedang berkuasa atau parpol pemerintah, mungkinkah pemerintah menggunakan haknya tersebut untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK? Oleh karena itu, pembatasan mengenai hanya pemerintah saja yang memiliki "legal standing" sebagai pemohon dalam pembubaran parpol haruslah dikaji ulang karena pemerintah sendiri memiliki kepentingan atas parpol tersebut sehingga dengan alasan kepentingan itulah pemerintah tidak akan mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK. (WDY)

*) Penulis adalah pakar Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum (FH) Universitas Narotama (Unnar) Surabaya.

Pewarta: Oleh Dr. Rusdianto Sesung, S.H., M.H.

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017