Jakarta (Antara Bali) - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengapresiasi Pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan tidak tertarik lagi dan mengurungkan niatnya untuk turut serta dalam perjanjian dagang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Heri Gunawan dalam keterangan tertulis, Jumat, menyatakan apresiasinya terhadap pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo karena bergabung dengan TPP dinilai merupakan kekeliruan besar yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia.
"Bergabung dalam TPP sama saja melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Ini jelas bertentangan dengan jalan kerakyatan yang selama ini dikobarkan," katanya.
Politisi Partai Gerindra itu juga berpendapat TPP mengancam kepentingan nasional, karena ada skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat.
"Bahkan, TPP disebut-sebut lebih progresif karena mencakup isu-isu WTO-plus," ujar Heri.
Menurut dia, dengan keluar dari TPP, berarti pemerintah telah menyelamatkan bangsa besar ini dari skenario yang sangat merugikan.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa Indonesia bisa berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut.
"Indonesia harus memelopori usaha yang mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus pada upaya-upaya kerja sama ekonomi dalam kerangka ASEAN," tegas Heri.
TPP dinilai Heri sebagai alat politik dan ekonomi AS yang tidak lain merupakan intervensi penguasaan korporasi atas berbagai sektor kehidupan manusia dan warga masyarakat suatu negara.
Di tempat terpisah, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan kerja sama TPP berpotensi memperlemah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
"Mereka punya kemampuan teknologi, permodalan dan jaringan bisnis untuk menghancurkan UMKM dan BUMN kita. Saya menolak kita ikut TPP karena industri di dalam negeri kita masih rentan, dan berpotensi kalah bersaing," ujar Teuku Rezasyah.
Ia mengatakan keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik diri dari TPP sangat beralasan, karena dia melihat potensi TPP yang hanya menguntungkan negara pengekspor ke Amerika Serikat, sehingga berpotensi memperlemah industri dalam negeri Amerika Serikat.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menyatakan akan menghentikan rencana keikutsertaan dalam perundingan Kemitraan Trans Pasifik (TPP) setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika menarik diri dari negosiasi tersebut.
Menurut Deputi Sekretariat Wapres Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar mengatakan usai kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (25/1), bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia tidak akan menindaklanjuti rencana bergabung dengan TPP.
Terkait dampak penarikan diri AS terhadap kerja sama dengan Indonesia, Dewi mengatakan Indonesia baru tertarik untuk bergabung dengan TPP karena melihat adanya peluang untuk berkompetisi di pasar yang lebih luas, oleh karena itu posisi Indonesia masih menunggu posisi negara-negara lain terkait kerja sama perdagangan regional tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Heri Gunawan dalam keterangan tertulis, Jumat, menyatakan apresiasinya terhadap pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo karena bergabung dengan TPP dinilai merupakan kekeliruan besar yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia.
"Bergabung dalam TPP sama saja melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Ini jelas bertentangan dengan jalan kerakyatan yang selama ini dikobarkan," katanya.
Politisi Partai Gerindra itu juga berpendapat TPP mengancam kepentingan nasional, karena ada skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat.
"Bahkan, TPP disebut-sebut lebih progresif karena mencakup isu-isu WTO-plus," ujar Heri.
Menurut dia, dengan keluar dari TPP, berarti pemerintah telah menyelamatkan bangsa besar ini dari skenario yang sangat merugikan.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa Indonesia bisa berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut.
"Indonesia harus memelopori usaha yang mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus pada upaya-upaya kerja sama ekonomi dalam kerangka ASEAN," tegas Heri.
TPP dinilai Heri sebagai alat politik dan ekonomi AS yang tidak lain merupakan intervensi penguasaan korporasi atas berbagai sektor kehidupan manusia dan warga masyarakat suatu negara.
Di tempat terpisah, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan kerja sama TPP berpotensi memperlemah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
"Mereka punya kemampuan teknologi, permodalan dan jaringan bisnis untuk menghancurkan UMKM dan BUMN kita. Saya menolak kita ikut TPP karena industri di dalam negeri kita masih rentan, dan berpotensi kalah bersaing," ujar Teuku Rezasyah.
Ia mengatakan keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik diri dari TPP sangat beralasan, karena dia melihat potensi TPP yang hanya menguntungkan negara pengekspor ke Amerika Serikat, sehingga berpotensi memperlemah industri dalam negeri Amerika Serikat.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menyatakan akan menghentikan rencana keikutsertaan dalam perundingan Kemitraan Trans Pasifik (TPP) setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika menarik diri dari negosiasi tersebut.
Menurut Deputi Sekretariat Wapres Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar mengatakan usai kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (25/1), bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia tidak akan menindaklanjuti rencana bergabung dengan TPP.
Terkait dampak penarikan diri AS terhadap kerja sama dengan Indonesia, Dewi mengatakan Indonesia baru tertarik untuk bergabung dengan TPP karena melihat adanya peluang untuk berkompetisi di pasar yang lebih luas, oleh karena itu posisi Indonesia masih menunggu posisi negara-negara lain terkait kerja sama perdagangan regional tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017