Denpasar (Antara Bali) - Pemerhati masalah Penyiaran Nengah Muliarta mengatakan, profesi penyiar radio hampir mirip dengan pekerjaan seorang seniman yang memiliki tugas menghibur pendengar radio.

"Menghibur pendengar melalui sajian musik, informasi dan olah kata yang mampu membuat pendengar senang dan gembira," kata Nengah Muliarta yang juga Instruktur Bali Broadcast Academia (BBA) di Denpasar, Rabu.

Ia mengatakan, banyak anggapan bahwa penyiar radio termasuk orang yang beruntung, karena dibayar untuk berbicara.

"Kenyataannya honor penyiar radio sangat miris. Menjadi sebuah tanda-tanya besar, apakah memang penyiar radio memang murah atau penyiar radio memang mau dibayar murah," katanya.

Jika memang penyiar radio dibayar murah tentu memang standar pengupahan pada suatu daerah masih rendah dan bukan karena perusahaan.

Jika penyiar radio yang ada memang murahan berarti para penyiar bersedia dibayar murah karena hanya memiliki kemampuan yang seadanya atau pas- pasan.

Nengah Muliarta menjelaskan, hasil uji petik Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali selama Juni-Agustus 2014 terhadap 15 lembaga penyiaran radio menunjukkan, bahwa besarnya honor per jam siar yang diberikan kepada seorang penyiar berkisar antara Rp5.000 hingga Rp11.000.

Tercatat hanya satu radio yang memberikan honor per jam siar Rp25.000. Parahnya lagi, selain honor siaran yang rendah penyiar juga tidak mendapatkan uang transport dan uang makan.

Berbeda dengan hasil temuan KPID Jawa Timur pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa honor penyiar radio di daerah tersebut jauh lebih rendah.

Penyiar di Jawa Tengah yang dibayar di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan bahkan ada yang dibayar per jam Rp3.000.  (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017