Kuta (Antara Bali) - Pendiri Inisiatif Pencegahan Kanker Serviks Indonesia (IPKASI), Prof Dr Andrijono, menyatakan, pencegahan kanker pembunuh nomor dua perempuan di Indonesia ini belum menjadi prioritas pemerintah sekalipun terdapat 2.500 temuan kasus setiap tahun.

"Kebanyakan perempuan Indonesia mengetahui dirinya mengidap kanker serviks ini pada stadium lanjut, pada saat sudah tidak bisa diberi tindakan penanggulangan apapun. Padahal ini adalah satu jenis kanker yang penyebab, tingkat perkembangan, dan cara pencegahannya sudah diketahui secara pasti," katanya kepada ANTARA, di Kuta, Bali, Kamis.

Andrijono berada di Bali sebagai satu pembicara kunci dalam Pertemuan Organisasi Penelitian Infeksi Genital dan Neoplasia Asia-Oseania (AOGIN). Forum yang dihadiri ratusan ahli beberapa spesialisasi kedokteran itu menjadi ajang pertukaran informasi dan perkembangan di bidang kanker genital yang terjadi pada perempuan.

Menurut Andrijono, kanker serviks alias kanker mulut rahim merupakan kanker sangat khas dan hanya menyerang perempuan yang sudah melakukan aktivitas seksual. Kanker ini disebabkan belasan strain dari ratusan "human papiloma virus" (HPV) yang diidentifikasi selama ini.

Virus yang cenderung menularkan diri lewat aktivitas seksual ini menyerang lapisan kulit lunak, terutama di bagian-bagian organ reproduksi perempuan, dan bisa menjalar ke seluruh organ penting tubuh.

Data di Bagian Onkologi RS Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menyatakan, dalam setahun terdapat 300 sampai 400 kasus baru perempuan pengidap HPV.

"Itu baru di Cipto saja, belum di empat rumah sakit rujukan radiologi onkologi nasional lain. Artinya mereka adalah penderita baru lesipra kanker. Dari angka itu, 70 persen pada stadium satu dari stadium empat yang diketahui. Sebanyak 2,4 persen dari angka itu sudah masuk ke stadium empat," katanya.

Khusus untuk Indonesia, strain tunggal atau gabungan HPV yang banyak menjadi penyebab kanker serviks adalah HPV16, HPV18, dan HPV52. Di sebanyak bagian lain dunia, strain-strain itu adalah HPV16, HPV18, HPV31, HPV41, dan HPV52.

Untuk mendeteksi awal apakah seorang perempuan berpotensi menderita kanker serviks, dikenal beberapa cara, mulai dari "pap-smear", biopsi, penerapan vaksin anti HPV, hingga Inspeksi Visual dengan Asam Cuka (IVA). Biaya perlakuan medis ini beraneka, antara Rp75.000 untuk "pap-smear" hingga Rp1.000.000 untuk vaksin anti HPV.

Jika seorang perempuan mendapat perlakuan IVA, maka pada bagian permukaan serviksnya akan berwarna putih karena terdapat jaringan rusak sementara sel sehat di bagian itu akan tetap berwarna kemerahan. Jika warna keputihan ini yang terlihat maka dokter bisa melanjutkan tahapan pengobatannya.

"IVA ini sangat murah dan mudah sehingga bisa dilakukan seorang bidan. Satu botol asam cuka seharga Rp10.000 bisa untuk memerika sekitar 100 perempuan," katanya.

AOGIN berkeinginan mengurangi beban penyakit dikarenakan infeksi pada reproduksi perempuan di Kawasan Asia-Pasifik dan Oseania. Mereka kerap bekerja sama dengan pemerintahan banyak negara, LSM, dan masyarakat dalam hal pencegahan dan penanggulangan kanker serviks.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakiyt dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, menyatakan, pemerintah menargetkan lingkupan penanggulangan kanker serviks ini bisa dilakukan pada 2014 nanti.

"Yang ideal, 80 persen populasi perempuan Indonesia usia produktif bisa diketahui keadaan kesehatan reproduksinya, dalam hal ini terkait kanker serviks," katanya.

Pemerintah, katanya, telah menerjemahkan tiga langkah pencegahan ini ke dalam 11 tahap kunjungan tunggal seorang perempuan pasien. Tahapan ini mulai dari konseling, pengujian, hingga pemberian tindakan lanjut medis.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011