Jakarta (Antara Bali) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menginginkan pembahasan perundingan perdagangan internasional terutama liberalisasi pangan dapat lebih terbuka sehingga publik dapat memberikan masukan seluas-luasnya.
"Ruang demokratisasi harus segera dibuka oleh pemerintah. Publik berhak tahu isi dari perjanjian yang dirundingkan," kata Advokasi Officer Koalisi Indonesia untuk Akses Obat Murah Putri Sindi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Untuk itu, ujar dia, proses konsultasi terhadap pembahasan perdagangan di tingkat internasional harus dibuka seluas-luasnya agar masyarakat bisa memberikan masukan untuk memperkuat strategi perundingan pemerintah.
Sementara itu, peneliti LSM Agra Alie menyatakan bahwa liberalisasi pangan yang kerap terkait dengan perdagangan pasar bebas akan semakin menghilangkan penguasaan petani atas benih dan meningkatkan kekuatan korporasi.
Dampaknya, menurut Alie, Indonesia akan semakin tidak mampu meningkatkan produksi pangan dalam negerinya sendiri.
"Padahal kewajiban pemerintah tidak selesai pada soal penyediaan semata, melainkan perlu mencari strategi dalam penguatan kedaulatan pangan negara," ucapnya.
Berbagai LSM itu sepakat Indonesia untuk segera mengkaji kembali dampak dari bebagai upaya liberalisasi atas pangan melalui perjanjian perdagangan bebas tidak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga kajian dampaknya terhadap pemenuhan dan perlindungan HAM, khususnya pada aspek hak atas ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebelumnya, lembaga Indonesia Global Justice (IGJ) mengatakan, perundingan internasional terkait perdagangan pasar bebas bukan hanya soal ekspor impor, tetapi juga menyangkut aspek sosial lainnya.
"Isi perundingan FTA (kawasan perdagangan bebas) itu bukan hanya bicara ekspor dan impor, tetapi ada aspek sosial dan hak-hak publik luas yang juga diatur didalamnya, baik terkait isu akses terhadap obat hingga isu lingkungan," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti.
Belum lagi, menurut Rachmi, bila perjanjian perdagangan bebas yang diikutsertakan Indonesia mewajibkan merevisi seluruh undang-undang nasional yang berdampak luas kepada rakyat, sehingga sangat tidak adil jika rakyat tidak dilibatkan dalam proses perundingan.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Aria Bima dalam sejumlah kesempatan sebelumnya mengatakan, perjanjian perdagangan internasional yang melibatkan Republik Indonesia harus selaras dengan kemampuan bangsa.
Oleh karena itu, menurut Aria, pihak dunia usaha juga diharapkan dapat memberikan penjelasan secara terperinci mengenai dampak perjanjian dagang tersebut terhadap ekonomi domestik.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada Kamar Dagang dan Industri Indonesia mengetahui secara detail tentang untung rugi bagi Indonesia dalam melakukan perjanjian tingkat internasional.
Hal itu, ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut, karena pengusaha-pengusaha nasional ada dalam ruang lingkup Kadin sehingga lembaga itu merupakan pelaku industri yang langsung merasakan dampaknya.
Dia juga mengutarakan harapannya agar dalam setiap perjanjian perdagangan internasional yang diikuti, Indonesia tidak boleh merugi dan negara harus mendapatkan keuntungan. (WDY)