Semarang (Antara Bali) - Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas
mengatakan pemerintah berhak memperoleh penerimaan pajak dari transaksi
perdagangan elektronik (e-commerce) meski saat ini peraturan perpajakan
untuk industri tersebut masih dalam proses pembahasan.
"Kita memang sedang mencari titik dimana ini bisa dipungut pajak,
tapi untuk fairnya pemerintah bisa memperoleh pajak dari transaksi
e-commerce," kata Ronald saat mengisi acara pelatihan wartawan ekonomi
di Semarang, Minggu.
Ronald menjelaskan pemerintah sudah mendapat saran dari berbagai
pemangku kepentingan termasuk BI untuk pengenaan pajak dari perekonomian
digital, apalagi nilai transaksi dari industri teknologi berbasis
finansial (financial technology/fintech) terus meningkat setiap
tahunnya.
Namun, Ronald mengatakan proses pembahasan peraturan perpajakan
tersebut masih belum menemukan kesepakatan, karena masih ada perdebatan
terkait besaran pajak maupun jenis pengenaannya kepada konsumen.
"Memang untuk pajak ini pembahasannya cukup panjang, karena ada
yang bilang langsung saja dipajaki, namun ada juga pendapat kalau
dipajaki, nanti industri e-commerce jadi malas berkembang," kata Ronald.
Menurut dia, sudah waktunya perusahaan yang bergerak dalam jasa
teknologi informasi melaksanakan kewajiban perpajakan, apalagi institusi
sekelas Google juga bermasalah dengan pajak, tidak hanya di Indonesia,
namun juga dengan negara lain.
Tidak masalah
Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Dian Kurniadi mengaku
tidak masalah dengan pengenaan pajak kepada pelaku industri perdagangan
elektronik, asalkan ada regulasi yang jelas untuk mengatur kewajiban
perpajakan tersebut.
Untuk sementara, sambil menunggu adanya peraturan perpajakan bagi
perdagangan daring, ia mengusulkan bisnis "e-commerce" dikenakan pajak
yang terkait sektor jasa, karena banyak unit bisnis "fintech" telah
berbadan hukum.
"Tentunya di bisnis fintech, sebagian besar incomenya berasal
dari jasa. Untuk itu, tentunya kita bisa mengikuti regulasi perpajakan
yang berlaku bagi sektor jasa," kata COO Jas Kapital Indonesia ini.
Sementara, Ketua Komisi VI Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia
Ery Punta Hendraswara mengusulkan pemerintah bisa memberikan insentif
berupa penundaan pajak kepada bisnis "startup" yang rata-rata baru
muncul selama setahun terakhir.
Namun, kata dia, setelah unit bisnis ekonomi digital tersebut
telah berkembang dan menghasilkan omzet minimal dalam dua tahun,
pemerintah bisa mulai mengenakan pajak kepada pelaku usaha "fintech".
"Pemerintah bisa memberikan penundaan pajak, karena bisa saja
selama dua tahun, bisnis ini belum ada profit. Perlu insentif maupun
relaksasi seperti ini, atau berupa kemudahan lainnya, agar suatu saat
menjadi comply dengan pajak," ujar Ery.
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat jumlah transaksi pembayaran
daring di Indonesia sepanjang tahun 2016 telah mencapai 14,48 miliar
dolar AS.
Menurut perkiraan, nilai transaksi ini terus bertambah, hingga pada
2020 mencapai 130 miliar dolar AS yang didominasi oleh "e-commerce",
"market place" dan perusahaan "fintech" lainnya. (WDY)
BI: Pemerintah Berhak Tarik Pajak Dari "e-commerce"
Senin, 26 September 2016 8:05 WIB