Jakarta (Antara Bali) - Pajak bandara atau lebih dikenal dengan "airport
tax" atau "passanger service charge" (PSC) wajib dibayar penumpang
ketika melakukan penerbangan atas penggunaan fasilitas bandara seperti
toilet, pendingin ruangan dan sebagainya.
Sebagian besar maskapai penerbangan nasional masih menerapkan sistem
pembayaran pajak bandara yang terpisah dari tiket, sehingga penumpang
dihadapkan dengan dua kali pembayaran.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat melakukan inspeksi mendadak
ke Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten meminta pajak bandara
kembali disatukan dengan tiket untuk mempermudah layanan penumpang.
"PSC didorong memakai standar pelayanan minimum, agar semua bandara
tidak repot, (disatukan) di tiket saja, masa kalah dengan KRL (kereta
communter line)," katanya.
Pihaknya akan memaksa setiap pesawat
agar memenuhi ketentuan tersebut mulai 1 Januari 2015 dan tidak ada
toleransi lagi pada Maret 2015.
Penyatuan pajak bandara telah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor 447 Tahun 2014.
Dorongan untuk kembali menyatukan pajak bandara dengan tiket bukan
lah hal yang baru karena pembahasan antara AP dengan seluruh maskapai
yang tergabung dalam Perhimpunan Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia
(Inaca) telah dilakukan sekitar enam bulan lalu.
Sekretaris Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Djoko
Murdjatmoko mengatakan dengan adanya Peraturan Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara Nomor 447 Tahun 2014 dan perintah dari Menteri BUMN,
seharusnya AP segera mengadakan pembahasan secara serius baik dengan
penyedia jasa, maskapai dan sebagainya.
"Sekarang bolanya ada di AP, mereka bilang siap. Kita pun sudah mengeluarkan instruksi," tuturnya.
Sejumlah maskapai mengaku setuju dengan diterapkannya kembali
penggabungan pajak bandara dengan harga tiket pesawat, dengan catatan
sistem dan mekanismenya perlu banyak dibenahi agar semuanya transparan.
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait meminta harus ada kesepahaman
terminologi mengenai pemberlakuan pajak bandara tersebut antara maskapai
dan AP I dan II.
Kesepahaman terminologi tersebut meliputi peraturan teknis pengenaan
pajak bandara, baik di bandara tujuan (origin) maupun bandara transit.
"Apakah sama berlakunya, di bandara origin atau bandara transit.
Jangan seharusnya (penumpang) bayar, tapi enggak bayar, sementara saya
suruh setor (ke AP II), kan masalahnya (seperti dialami) Garuda,
penumpang dari Amsterdam ke Denpasar, transit di Jakarta, seharusnya di
Jakarta bayar tetapi tidak bayar, namun ditagih oleh pengelola. Itu lah
yang dia tekor Rp2 miliar," katanya.
Karena itu, dia menegaskan, harus dibicarakan business to business dengan AP I dan II untuk menyamakan pemahaman terkait terminologi tersebut, baru ditandatangani persetujuannya.
Selain itu, tindak lanjutnya harus disosialisasikan dengan baik
kepada masyarakat agar tidak ada kesalahpahaman terkait pemberlakuan
tersebut karena maskapai yang biasanya harus menanggung protes serta
keluhan masyarakat.
"Jangan kita dijadikan bemper, penumpang harus well-known harus tahu persis. Jangan saya nagih buat orang lain saya yang dimaki-maki," tandasnya.
Edward juga menyarankan agar dijalankan secara transparan dan bersih
dalam audit, dan tidak berdasarkan persepsi masing-masing.
Senada dengan Edward, Presiden Direktur AirAsia Indonesia Sunu
Widyatmoko mengaku setuju dengan kebijakan penyatuan pajak bandara,
namun masih mencari titik temu dengan AP I dan II terkait sistem
penyetoran.
Sunu menjelaskan pihak AP I dan II meminta penyetoran pajak tersebut
secara harian, namun menurut dia secara teknis informasi teknologi dan
perbankan tidak bisa selesai dalam waktu satu hari.
"Sekarang transfer antarbank saja prosesnya lama, AP harusnya
mengerti. Isunya kan karena mereka BUMN jadi mesti daily (harian),
padahal kalau daily harus dilihat secara teknis bisa apa enggaknya,"
ucapnya.
Ia pun tidak menyanggupi kalau harus menalangi dahulu setoran pajak
tersebut, selain itu pihaknya juga membutuhkan waktu untuk sosialisasi
kepada penumpang.
Sementara itu, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emisyah Satar mengaku mendukung karena memudahkan penumpang.
Namun, dia menyarankan agar semua sistem disinergikan terlebih
dahulu karena selama ini kerugian yang derita oleh pihaknya hingga Rp2,6
miliar akibat pemberlakuan tersebut, karena tidak ada sinergitas antara
peraturan dari standar global "International Air Transport Association"
(IATA) dan Angkasa Pura I dan II.
"Kita ingin semua disinergikan, kalau tidak seperti yang lalu
setelah dua tahun kita menjalani itu, akhirnya dihentikan," tegasnya.
Garuda Indonesia per 1 Oktober 2014 kembali memisahkan pajak bandara
dengan harga tiket, setelah dua tahun menyatukan kedua komponen
pembayaran tersebut.
Menurut Emirsyah, jika sistem sudah disinkronisasi, bisa meminimalisasi kerugian yang dibebankan kepada maskapai.
"Enggak akan ada kerugian karena sistemnya sudah sinkron. Sekarang
ini banyak sistem yang enggak sinkron, jadi kita harus bayar ke Angkasa
Pura II," ungkapnya.
Executive Vice President Garuda Indonesia Erik Meijer menambahkan
pihaknya menyanggupi ketentuan tersebut asalkan semua maskapai sesuai
standar global IATA.
Artinya, seluruh data pajak terekam dalam satu sistem, baik untuk
penerbangan domestik maupun internasonal, sehingga diharapkan tidak
terjadi lagi kesimpangsiuran mengenai mekanisme pembayaran tersebut.
Ketua Umum Inaca Arif Wibowo mengatakan untuk mewujudkan sistem
pembayaran pajak bandara agar tak salah kelola, yakni harus diatur dalam
satu sistem untuk seluruh maskapai.
"Nanti pemerintah mengirim file (data) kepada IATA, termasuk untuk
pajak bandara dan tiket, setelah semua terkoordinasi langsung switch on,
semua maskapai terekam bersamaan," katanya.
Terkait pembayaran, standar IATA memberlakukan pajak disetorkan kepada AP I dan II dalam jangka waktu tiga minggu.
Direktur Utama Citilink itu menyarankan agar pemerintah, dalam hal
ini, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub untuk menyepakati berapa lama
tenggat waktu untuk penyetoran.
Untuk Bandara Unit Pelaksana Teknis (UPT), diberlakukan kupon
pembelian tiket oleh maskapai yang akan dibayarkan oleh penumpang pada
saat "check-in".
Pajak bandara di bandara UPT masuk ke dalam PNBP
yang harus disetor ke dalam kas negara 1x24 jam, apabila tidak, maka
diindikasikan bentuk pidana korupsi.
Sementara, pajak bandara bukan UPT artinya dikelola oleh Angkasa
Pura I dan II, memiliki mekanisme berbeda, penyerahan pajak tersebut
tidak masuk ke dalam PNBP, jadi batas waktu penyerahan pajak kepada
pengelola tergantung kesepakatan, tidak harus 1x24 jam. (WDY)
Tarik Ulur Airport Tax
Senin, 8 Desember 2014 15:16 WIB