Jarum jam terus berputar, dari detik dan menit terus bergerak hingga tak terasa duka dan jeritan derita tragedi kemanusiaan bom Bali yang merenggut 202 korban tewas dari 20 negara telah berlalu 12 tahun silam.
Ledakan dahsyat di kawasan Legian, Kuta, Kabupaten Badung, meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy`s Club pada malam hari, 12 Oktober 2002 mengakibatkan lebih dari 350 orang mengalami luka-luka, termasuk cacat tetap.
Meskipun peristiwa tragis itu tidak lagi diperingati secara khusus seperti tahun-tahun sebelumnya, namun keluarga korban dan wisatawan mancanegara mengenang peristiwa itu dengan doa dan tabur bunga di depan altar monumen tragedi kemanusiaan di Legian, Minggu (12/10).
Perwakilan keluarga korban yang diiringi Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Konsul Konsulat Jenderal Australia Majell Hind, Wakil Bupati Badung I Made Sudiana, dan salah seorang relawan Bom Bali Haji Agus Bambang Priyanto berdoa sejenak di altar dan meletakkan karangan bunga.
Kawasan Legian yang sehari-hari ramai dengan hilir-mudik wisatawan, sejenak hening dalam kesunyian untuk mengenang kepergian ratusan orang tak berdosa dalam tragedi kemanusoaan tersebut.
Ketua Yayasan Istri dan Anak-anak Korban Bom Bali I (Isana Dewata) Ni Luh Erniati mengatakan, peringatan ini bukan untuk mengenang, tetapi mengingatkan masyarakat, pemerintah dan dunia bahwa tepat hari ini terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan hingga kini dampaknya masih dirasakan.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang mengendalikan Pulau Dewata selama dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) mengajak semua pihak termasuk keluarga korban untuk memaafkan dan tidak memendam dendam dan amarah.
Peringatan kali ini bukan untuk membangkitkan amarah, namun untuk memaafkan, meskipun peristiwa itu memang ini sangat sulit dilupakan. Untuk itu semua elemen masyarakat hendaknya ikut bersama menjalin perdamaian dan menjaga keamanan Pulau Dewata.
"Apapun agama, warna kulit dan profesinya mari jaga perdamaian," harap Mangku Pastika yang juga mantan Ketua Tim Investigasi Bom Bali I dan mantan Kepala Polda Bali ini.
Relawan Bom Bali Haji Agus Bambang Priyanto mengatakan, ajakan Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk memaafkan serta tidak memendam dendam dan amarah terhadap pelaku bom Bali 12 tahun silam itu karena sudah dihukum mati.
Sedangkan sisanya menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (lapas) sesuai keputusan majelis hakim. Memang sulit melupakan tragedi kemanusiaan yang masih ada korban dalam kondisi cacat, istri maupun suami dari korban yang masih hidup.
"Jangankan bom Bali 12 tahun yang lalu, perang dunia I sebuah perang global terpusat di Eropa yang dimulai 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918 sulit dilupakan akibat banyaknya korban dan penderitaan yang melibatkan banyak orang," tutur Haji Agus Bambang Priyanto.
Pria enerjik pensiunan pegawai negeri yang kini mengabdikan dirinya dalam kegiatan sosial melalui Palang Merah Indonesia (PMI) Bali, ini memang tidak bisa melupakan pristiwa itu dalam hidupnya.
Oleh sebab itu setiap 12 Oktober akan selalu menyempatkan diri diri untuk berdoa, menaburkan bunga dan meletakkan karangan bunga di Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, tugu yang memuat nama-nama korban bom Bali 12 tahun silam tragedi kemanusiaan itu.
Sosok pria yang tinggal di kawasan Kuta yang kehidupannya berbaur dengan masyarakat setempat, terus mengenang tragedi kemanusiaan itu, meskipun tidak ada anggota keluarganya yang menjadi korban.
Keluarganya tinggal di Kuta sejak 89 tahun silam, ketika embahnya pada tahun 1925 mulai merantau ke Bali.
Tragedi bom Bali membuat dirinya merasa terpukul berat. Bahkan ketika menjadi saksi yang mengadili pelaku bom Bali di Pengadilan Negeri Denpasar tidak dapat menyembunyikan rasa sok dan kesedihannya.
Pensiunan PNS Dinas Perhubungan Kabupaten Badung itu berkali-kali meminta izin kepada ketua majelis untuk mengusap lelehan air mata dalam memberi kesaksikan.
Haji Bambang yang telah meluncurkan buku biografi setebal 228 halaman yang mengulas tentang perjalanan hidupnya sejak dalam kandungan, hingga akhirnya setelah menjadi relawan Bom Bali I dan melakukan berbagai misi kemanusiaan di Tanah Air.
Ia mengaku sering bertanya kepada dirinya sendiri kenapa Bali dibeginikan (dibom), apa salah kami, apa dosa Bali, sampai-sampai menjadikan porak poranda.
Atas kenyataan itu sosok pria yang ramah itu terus berada di lokasi untuk membantu korban bersama warga masyarakat Kuta dan petugas dari instansi terkait lainnya sejak bom meletus dalam menangani korban.
Kembang Kempis
Haji Bambang menjelaskan, pengalaman yang tidak pernah dilupakan, saat berada di tempat kejadian peristiwa (TKP) 12 tahun silam adalah banyak menerima keluarga korban, bahkan tujuh orang keluarga korban asal Bali masing-masing menyodorkan kain putih (kain kase) meminta bisa diambilkan tanah di lokasi bom yang menurutnya tanah itu dianggapnya sebagai jasad keluarganya yang meninggal itu.
Bom Bali telah menjadikan periuk dapurnya kembang kempis karena saat itu Haji Bambang bersama keluarga menggantungkan hidup dari penghasilan sebuah art shop yang menjual berbagai jenis cindera mata.
Dapurnya bisa mengepul berkat tabungan yang disisakan sebelum tragedi bom, namun tidak bertahan lama karena terus diambil. Begitu tanda-tanda pariwisata mulai pulih kembali diserang bom Bali dua 1 Oktober 2005, bahkan pariwisata Bali kembali terpuruk.
Meskipun demikian ia mengaku sangat bersyukur bisa hidup di Bali di mana kerukunan antarumat beragama sangat baik, satu sama lain hidup bedrdampingan secara mesra dan harmonis tanpa pernah ada masalah.
Bahkan ratusan calon jemaah haji dari wilayah Kabupaten Badung ke tanah suci Mekah berkat sentuhan dari sektor pariwisata.
Haji Agus Bambang Priyanto, salah seorang relawan tragedi Bom Bali 2002 telah meluncurkan buku biografi berjudul "Keikhlasan Menuntun Langkahku".
Buku itu diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak muda dalam membantu sesamanya, khususnya dalam kegiatan sosial. Hal itu dinilai sangat penting karena zaman sekarang materialistis, segala sesuatu diukur dengan uang.
Oleh sebab itu ke depan, jika dalam melakukan misi kemanusiaan selalu berpikir materialistis, siapa yang akan melakukan pekerjaan sosial tersebut.
Ia mengharapkan muncul Haji Bambang-Haji Bambang lainnya, sehingga pada saat negara menghadapi tragedi atau bencana, ada sosok yang tampil melakukan pertolongan secara ikhlas dan sukarela.
Haji Bambang juga pernah mendapat kesempatan berbicara di depan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Saya berbicara di forum PBB atas undangan Sekjen PBB Ban Ki-moon saat itu," katanya.
Sebagai relawan, sebagian besar halaman buku biografi itu memang mengisahkan Haji Bambang ketika pukul 23.00 Wita melakukan proses evakuasi korban dan berpuluh-puluh hari bersentuhan dengan tim investigasi.
"Waktu itu, saya diberikan kepercayaan oleh Karo Humas dan Protokol Pemprov Bali, I Gede Nurjaya untuk memandu tamu-tamu VIP dari Jakarta maupun berbagai negara untuk menjelaskan tragedi itu pada mereka yang mendatangi monumen peringatan tragedi (Ground Zero) di Kuta," kenangnya.
Di tempat itu, Haji Bambang banyak memberi pengarahan kepada masyarakat yang datang bersimpati dan berdoa. Ketika tragedi bom yang meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy`s Club pada malam 12 Oktober 2002, ia bisa cepat ke lokasi karena belum tertidur.
"Saya sedang membaca koran di rumah, di kawasan Kuta Permai, jaraknya 900 meter dari tempat kejadian. Dalam keadaan masih terjaga itulah yang menjadikan saya cepat ke lokasi untuk mencari tahu apa yang terjadi, awalnya saya kira bunyi ledakan berasal dari pesawat yang jatuh," kenang Haji Bambang terhadap peristiwa sebelas tahun silam.
Sebagai kenangan semua peralatan yang digunakan untuk mengevakuasi korban seperti senter, HT, dan topi masih disimpan dengan baik dan rapi, tutur Haji Bambang yang menangani masalah kebencanaan PMI Bali. (WDY)