Jakarta (Antara Bali) - Sebanyak lima pemuda menggugat syarat sah
perkawinan berdasarkan agama yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah
Konstitusi.
Kelima pemohon yang merupakan alumni dan mahasiswa Universitas
Indonesia ini merasa berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
"Pemaksaan yang dilakuan oleh Negara agar tiap warga negara
melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya
melalui Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan pelanggaran
terhadap hak atas kebebasan beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,"
kata salah satu pemohon, Damian Agata Yuvenus, saat membacakan
permohonannya dalam sidang di MK Jakarta, Kamis.
Kelima pemohon yang terdiri dari Damian Agata Yuvens, Rangga sujud
Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Saputra ini
juga menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah membatasi hak untuk
melangsungkan perkawinan.
Pemohon juga menilai ketentuan tersebut membuka ruang penafsiran
yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antarnorma sehingga tidak
dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil.
Mereka juga menilai pembatasan yang ditentukan ketentuan ini tidak
sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan
yang ditentukan dan menyebabkan terjadinya berbagai macam penyelundupan
hukum dalam bidang hukum perkawinan dan merupakan norma yang tidak
memenuhi standar sebagai peraturan perundang-undangan.
Pemohon juga menilai keberadaan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
justru bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu agar tiap perkawinan
didasari pada hukum agamanya masing-masing, selain itu ketentuan
tersebut menyebabkan permasalahan dalam hubungan suami-istri dan orang
tua-anak.
Pemohon mengungkapkan permasalahan ini muncul karena ketentuan ini
tidak mengijinkan perkawinan beda agama, sehingga banyak orang pindah
agama agar bisa melakukan perkawinan.
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Sidang pengujian UU Perkawinan ini diketuai Majelis Panel Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams didampingi Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan
Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Menanggapi permohonan ini, Wahiddudin meminta pemohon untuk
menjelaskan pertentangan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan ini
dengan UUD 1945.
Wahiduddin juga meminta untuk menampilkan perbandingan dengan
negara lain yang mengunakan sistem pengaturan nikah beda agama.
"Pemohon dalam kasus ini hanya menampilkan contoh dan lebih banyak
pada pelaksanaaannya mendapat kesulitan," kata Wahiduddin.
Sedangkan Arief mempertanyakan tidak konstitusionalnya UU
Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan yang mengatur
perkawainan berdasarkan agama.
"Tidak konstitusional itu kenapa menurut anda dan dimana letaknya.
Saya melihat bisa dipertajam, lebih mengelaborasi dari aspek
filosofinya," katanya.
Arief juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia memang bukan
menganut berdasarkan agama, tetapi juga bukan sekuler tetapi berdasarkan
Pancasila.
"Pancasila menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi
landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jalaskan
filosofinya dari situ, itu bisa digunakan untuk memperkuat posita anda,"
kata Arief.
Untuk itu majelis panel memberikan kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (WDY)
Lima Pemuda Gugat Ketentuan Syarat Sah Perkawinan
Kamis, 4 September 2014 15:47 WIB