Oleh: Akhmad Kusaeni
Sanur (Antara Bali) - Terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015 dan pilihan tetap di jalur oposisi di tengah godaan untuk berkoalisi, membuktikan kemenangan kubu ideologis atas kubu pragmatis di elite partai banteng moncong putih itu.
Jauh-jauh hari sebelum Kongres, sudah tampak adanya pertarungan antara kubu ideologis yang diwakili oleh Megawati yang didukung akar rumput partai dengan kubu pragmatis yang melekat pada sosok Taufiq Kiemas yang didukung sejumlah elite partai.
Wacana koalisi atau oposisi menjelang kongres mencerminkan kencangnya pertarungan internal tersebut.
Namun, pidato politik Megawati pada pembukaan kongres mengakhiri pertarungan wacana itu. Puteri Proklamator RI Bung Karno itu menegaskan sikapnya pada jalan ideologi kerakyatan, bukan jalan pragmatisme pada kekuasaan.
Beberapa pengamat yang hadir di Bali seperti Effendi Gazali, Yudi Latif dan Ikrar Nusa Bhakti, memuji pidato Megawati itu sebagai sebuah proklamasi tentang ideologi kerakyatan.
Pidato itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Ideologi PDIP yang beranggotakan tujuh orang yang berasal dari unsur dewan pimpinan pusat dan tokoh partai.
PDIP telah menempatkan diri sebagai partai ideologis. Untuk itu diperlukan lembaga yang mewadahi arah gerak dan orientasi serta dinamika PDIP sebagai partai ideologis agar sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945.
Majelis ideologi antara lain bertugas untuk menerjemahkan ideologi menjadi program konkret partai.
Disambut Baik
Penegasan PDIP sebagai partai ideologis dan janji elite partai untuk menuangkannya dalam kerja nyata tentu harus disambut baik.
Pembentukan Majelis Ideologi dalam struktur baru kepengurusan PDIP juga perlu diapresiasi karena majelis inilah yang bertugas mengejawantahkan prinsip-prinsip partai ideologis itu untuk kesejahteraan rakyat yang dikenal sebagai "wong cilik".
Ada sejumlah alasan untuk memberi penghargaan atas keputusan PDIP yang mengukuhkan diri menjadi partai ideologis. Yang utama adalah fakta bahwa hampir tidak ada lagi yang peduli terhadap Pancasila, padahal konstitusi masih menyebut Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.
Meminjam istilah Prof Azyumardi Azra, "Pancasila nyaris absen dalam wacana dan diskusi" di tengah hingar bingarnya pragmatisme yang melanda bangsa Indonesia, para elite politik seakan enggan membicarakan Pancasila, apalagi masyarakatnya. Pancasila sebagai dasar dan fondasi bangsa seolah disimpan dalam kotak besi sejarah.
Tidak sedikit elite nasional dan calon pemimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, tetapi kehilangan masa depan karena tidak punya idealisme. Mereka silau terhadap budaya materi dari luar dan melupakan keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.
Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang gaduh. Korupsi terus merajalela meski sudah sedemikian banyak pejabat, anggota DPR, dan tokoh yang ditangkap dan masuk bui.
Gebrakan KPK dan Satgas Mafia Hukum bukannya menambah efek jera dan menghasilkan penghargaan atas prestasi memerangi korupsi, tapi justru Indonesia naik menjadi peringkat nomor satu sebagai negara terkorup di Asia.
Orang Mencibir
Sekarang ini berbicara tentang Pancasila bisa membuat sementara orang mencibir. Hal ini karena adanya disparitas dan kesenjangan antara kelima sila Pancasila dan realitas dalam kehidupan sehari-hari.
KH Mustofa Bisri pernah melontarkan pernyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara semakin menjauh dari Pancasila.
Menurut tokoh Nahdlatul Ulama tersebut, kondisi di negeri berketuhanan ini sudah seperti tanpa Tuhan.
Negeri yang berkemanusiaan yang adil dan beradab ini, katanya, sudah seperti tidak kenal lagi dengan perikemanusiaan. Persatuan Indonesia sudah seperti dilecehkan. Rakyat seperti tidak terwakili meski selalu diatasnamakan. Keadilan sosial hanya bagi segelintir orang.
KH Mustofa Bisri pun bertanya, "Masihkah Pancasila menafasi bangsa ini?".
Pertanyaan Mustofa Bisri itu adalah pertanyaan semua anak bangsa ini dan Megawati menjawabnya dengan tegas di Kongres III PDIP di Bali. Megawati menyerukan agar rakyat, setidaknya keluarga besar PDIP, untuk kembali ke ideologi Pancasila.
Pada titik inilah Megawati dan PDIP mendapat apresiasi. Tapi, seperti diakui Megawati sendiri, tantangan bagi PDIP untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.
PDIP harus bekerja dalam situasi psikopolitik "antipartai" dan "antiideologi". Partai nasionalis ini harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berfikir instan untuk kepentingan individual berjangka pendek.
Megawati yang terus memimpin PDIP untuk lima tahun ke depan harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi alat ideologi, tapi alat akumulasi ekonomi.
"Partai menjadi alat sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk kepentingan rakyat. Kita juga harus bekerja di dalam situasi dimana citra menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi,? kata Megawati.
Memang tidak mudah. Akan tetapi, Kongres III PDIP di Bali sudah meletakkan landasan untuk melangkah.
Kongres bukan saja telah menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final, tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.(*)