Nusa Dua, Bali (ANTARA) -
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) meminta peran aktif pemerintah daerah untuk menekan pernikahan dini.“(Pemerintah) kabupaten/kota harus punya rencana strategis bagaimana mereka menurunkan pernikahan anak usia dini, tidak di (pemerintah) pusat saja,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Icthiarto di sela forum Asia Pasifik Keluarga Berencana (KB) 2030 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu.
Pihaknya mencatat berdasarkan angka kelahiran menurut usia tertentu (ASFR) yakni kelompok remaja perempuan usia 15-19 tahun pada 2024 mencapai 18 kelahiran per 1.000 perempuan.
Ia menyebutkan bahwa angka remaja melahirkan di tanah air diperkirakan terus mengalami penurunan.
Meski begitu, lanjut dia, masih perlu upaya lebih lanjut agar angka remaja melahirkan bisa terus menurun karena risiko besar terhadap kesehatan perempuan mengingat organ reproduksi yang belum siap.
Dampaknya di antaranya membahayakan kesehatan perempuan, perkembangan janin tidak sehat hingga berpotensi menjadi anak stunting.
Tak hanya itu, pihaknya juga membutuhkan dukungan dan keterlibatan semua pihak menyesuaikan dengan karakter dan kebutuhan daerah di antaranya tokoh masyarakat, tokoh agama hingga tokoh budaya untuk ikut memberikan edukasi dalam menekan pernikahan dini.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase pada 2023, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun mencapai rata-rata 6,92 persen.
Ada pun daerah perdesaan mencatat persentase tertinggi yakni 11,19 persen dan perkotaan mencapai 4,21 persen.
Dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yakni tujuan nomor lima menargetkan menghapus semua praktik berbahaya termasuk pernikahan anak pada 2030.
