Denpasar (ANTARA) - Setahun sudah Provinsi Bali memiliki undang-undang sendiri melalui perjuangan segenap masyarakat yang diajukan ke Pemerintah Pusat.
Sejak Juli 2023, lahirlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, setelah selama puluhan tahun berada di bawah satu payung hukum dengan Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Undang-undang yang lahir pada sisa masa jabatan Gubernur Wayan Koster itu memberi kewenangan Bali untuk mengambil pungutan wisatawan asing. Alhasil, mulai tahun ini Bali memiliki sumber pendapatan baru.
Meskipun undang-undang ini sudah lahir sejak 2023, implementasi Pasal 8 yang mengatur pungutan wisatawan asing, baru dimulai 14 Februari 2024. Artinya, tepat pada hari jadi Provinsi Bali nanti, yaitu 14 Agustus 2024, pungutan ini genap berusia 6 bulan berjalan.
Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali mencatat regulasi tersebut sebagai capaian besar. Amanat ini bukan hal yang mudah meski saat ini sudah berhasil mengumpulkan lebih dari Rp182 miliar.
Pendapatan yang dihimpun hanya dalam 1 semester tersebut cukup bermakna bagi APBB Bali. Pos pendapatan pada APBD Provinsi Bali 2024 sebesar Rp6,35 triliun, dengan rincian pendapatan asli daerah (PAD) Rp4,07 triliun, transfer Pemerintah Pusat Rp2,27 triliun, dan pendapatan sah daerah Rp5 miliar.
Manfaat undang-undang ini paling terasa di sektor pariwisata, sebab di regulasi ini jelas tertuang kekhasan Bali yang dapat mengatur kewajiban wisatawan mancanegara membayar retribusi untuk memajukan dan memperkuat kebudayaan dan lingkungan.
Mulanya, setelah Undang-Undang Provinsi Bali lahir, diturunkan Peraturan Daerah Bali Nomor 6 Tahun 2023 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2024 yang mengulas mekanisme pemungutan.
Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun menyebut sejak undang-undang provinsi lahir, mereka tak pernah berkhayal soal nominal karena hanya fokus menyosialisasikan regulasi ini.
Dari sisi payung hukum, sejak awal memang tak ada yang perlu dikhawatirkan, namun strategi pelaksanaan yang tepat untuk diterapkan yang menjadi perhatian.
Sosialisasi memanfaatkan unsur multipihak terus digelar, kajian demi kajian, mempelajari tiap negara yang punya kebijakan sama, sebab di Indonesia, Bali ini yang pertama memiliki undang-undang khusus seperti itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, pungutan terhadap wisatawan asing bukan lagi hanya wacana karena hal ini terealisasi dengan beberapa kendala, evaluasi, dan perubahan-perubahan strategi.
Bukan hal yang mudah untuk memungutnya. Tercatat, dari rata-rata harian 16 ribu wisatawan mancanegara yang masuk Bali, pemerintah setempat baru dapat mengumpulkan uang dari 40 persen turis mancanegara yang masuk.
Dengan nominal Rp150.000 yang harus dibayar tiap wisatawan mancanegara, dalam sehari baru dapat terkumpul Rp800 juta-Rp1 miliar atau sampai pekan ini yang sudah membayar 1.213.758 orang dengan total pemasukan Rp182.063.700.000.
Mekanisme pembayaran uang retribusi termuat dalam portal lovebali. Setiap warga negara asing dapat membayar sebelum tiba Bali, melalui agen pesiar maupun secara langsung saat menginjakkan kaki di Pulau Dewata ini.
Pemerintah daerah terus berupaya menaikkan capaian pungutan. Beberapa langkah yang diambil seperti sidak ke pengunjung asing di lokasi yang memiliki daya tarik wisatawan
Seluruh elemen pariwisata bergerak, dari sisi Pemerintah, pengelola daya tarik, organisasi pariwisata, hingga melahirkan unit Pol PP Pariwisata di bawah Satpol PP Bali.
Saat ditemui di lokasi sidak, masih banyak pengunjung yang baru tahu tentang kebijakan ini, namun mereka tidak ragu dalam membayar. Jadi, tugas besar pemerintah setempat adalah memastikan wisatawan tahu ada aturan tersebut.
Kendala lainnya, wisatawan lolos keluar Bali sebelum membayar pungutan. Untuk mengatasinya, butuh alat pendeteksi otomatis di bandara, sementara bandara belum memiliki perantinya.
Dari serangkaian kendala, perjalanan pungutan wisatawan asing belum selesai, bahkan baru awal bagi Bali yang merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki keistimewaan ini.
Evaluasi
Sepanjang perjalanan banyak masukan dari berbagai elemen, mulai dari dewan yang melempar wacana menaikkan nominal retribusi sampai memberi insentif ke instansi yang membantu program ini.
Namun, Pemprov Bali tidak mau gegabah. Sistem pungutan tersebut akan lebih dulu dievaluasi setelah berjalan sebagaimana rencana awal.
“Kami tetap sesuai rencana awal, konsisten menjalankan, tinggal evaluasi mana yang perlu dibenahi. Setelah beres, baru berpikir ke depan usulan kami kaji,” kata Tjok Bagus Pemayun.
Selain urusan pungutan, optimalisasi Undang-Undang Provinsi Bali juga penting bagi Dispar Bali. UU tersebut hanya kewenangan mendapat sumber pendanaan baru yang tertuang, namun untuk memastikan Bali memiliki kewenangan yang besar atas pariwisatanya, belum ada.
Payung hukum sebesar Undang-Undang Provinsi Bali bisa dioptimalkan dengan mengemas Bali one island, one management, one command.
Kondisi pariwisata saat ini diatur dari ukuran bisnis yang terbangun, misalnya, pada hotel dengan jumlah kamar di bawah 100 maka dikelola kabupaten/kota, apabila di antara 100--200 dikelola provinsi, dan lebih dari itu oleh Pemerintah Pusat.
Dispar Bali melihat jika ekosistem pariwisata dikelola oleh provinsi sekaligus maka akan lebih mudah karena tidak hanya urusan pemungutan retribusi, namun keseluruhan.
Masukan atas keberadaan undang-undang itu juga sempat disinggung Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno ketika ke Bali.
Banyak potensi yang dapat dimanfaatkan dari undang-undang ini, sebut saja hasil pungutan wisman yang bisa lebih banyak dari kondisi hari ini.
Akan tetapi, tugas besar elemen pariwisata adalah mencari cara memudahkan wisatawan membayar pungutan.
Pemberian insentif menjadi salah satu solusi untuk memantik kepatuhan warga negara asing, tapi proses evaluasi akan berlangsung setelah genap 6 bulan pungutan berjalan.
Elemen kepariwisataan dan wisatawan akan disodori kuesioner untuk melihat seperti apa efektivitas mekanisme kebijakan ini di mata mereka.
Terlepas dari itu, Pemerintah Pusat mengakui Pemprov Bali sudah sejalan dengan kebijakan yang ada.
Kebijakan di bidang pariwisata ini menjadi salah satu capaian Bali pada usianya yang ke-66.
Setelah dihantam pandemi, inilah momentum tepat bagi pulau seluas 5.780 kilometer persegi ini bisa menghasilkan uang dari pemanfaatan sebuah undang-undang.
Editor: Achmad Zaenal M