Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali, I Ketut Trika Adi Ana mengunjungi Wales guna mempelajari pengajaran bagi anak-anak yang menderita disleksia.
"Saya belajar ke Brynhyfryd Primary School dan Hafod Primary School di Swansea, Wales, untuk belajar tentang disleksia. Adapun disleksia adalah gangguan dalam proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, atau mengeja," kata Trika di Kota Singaraja, Rabu.
Dalam kunjungan tersebut ia secara intensif mempelajari dan berdiskusi mengenai penanganan anak-anak disleksia di kelas inklusif pada salah satu negara dengan penanganan pendidikan insklusif terbaik di dunia.
Selama satu minggu Trika mengamati proses pembelajaran di dua sekolah dan menemukan berbagai praktik terbaik yang menarik. Anak-anak yang mengalami kesulitan membaca dan menulis diberikan perhatian khusus oleh guru kelas dan asisten guru sejak tahun pertama.
Kendala yang dihadapi siswa dicatat dengan teliti dan orang tua diajak berdiskusi untuk memahami permasalahan lebih dalam, jika siswa terindikasi mengalami disleksia.
"Mereka akan diarahkan ke guru konseling yang akan melakukan asesmen lanjutan dan menyusun program pembelajaran khusus. Program ini mencakup penggunaan media dan teknik pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak disleksia," katanya.
Lebih jauh Trika yang juga Sekretaris Yayasan Disleksia Bali ini mengungkapkan salah satu hal penting adanya kolaborasi antara guru kelas, asisten guru, guru konseling, dan orang tua menjadi kunci dalam memecahkan masalah belajar siswa. Setiap minggu rapat rutin diadakan untuk membahas kemajuan dan mencari solusi terbaik.
Tidak hanya berhenti di Swansea, Trika juga berkesempatan mempresentasikan hasil penelitiannya di University College London (UCL). Penelitiannya mengungkap bahwa guru, orang tua, dan siswa arus utama di Indonesia masih sering salah kaprah dalam menangani anak dengan kecenderungan disleksia .
Anak-anak ini sering dianggap malas atau kurang cerdas, padahal mereka membutuhkan pendekatan khusus yang belum banyak diterapkan.
Trika mempresentasikan rancangan penelitian dan mendapat respon positif dari peserta konferensi internasional, termasuk dari Uni Emirat Arab, Israel, Hong Kong, dan Taiwan. Banyak pertanyaan dan masukan yang diberikan menunjukkan betapa pentingnya penelitian ini.
Dengan bekal pengalaman dari Wales dan masukan dari konferensi di London, Trika bertekad melanjutkan studinya untuk mengembangkan media dan teknik pembelajaran yang lebih efektif bagi anak-anak disleksia di Bali dan Indonesia. Ia berharap perjalanan ini dapat membawa dampak positif bagi pendidikan inklusif di tanah air.
"Perjalanan ini membuka mata saya pentingnya kolaborasi dan pendekatan khusus bagi anak-anak disleksia. Saya berharap dapat menerapkan praktik baik ini di Bali dan Indonesia, serta mengubah pandangan masyarakat terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus," ujar Trika.