Tangerang (ANTARA) - Eceng gondok dengan nama Latin Pontederia crassipes atau Eichornia crassipes adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman berdaun lebar ini mempunyai nama lain seperti di Palembang dengan nama kelipuk, di Lampung disebut ringgak, di Dayak dikenal bernama ilung-ilung, dan di Manado dijuluki tumpe.
Meski termasuk populer, ada pandangan umum bahwa tanaman yang tumbuh dengan cepat itu disebut sebagai penjahat lingkungan perairan.
Namun tidak demikian bagi seorang perempuan dari Kota Tangerang. Ia mampu mengolah eceng gondok menjadi seni kerajinan yang memikat.
Nama perempuan kreatif itu Ieko Damayanti. Sebagai pemilik merek Ratu Eceng, ia terobsesi mengubah tanaman liar eceng gondok menjadi produk bernilai tinggi yang tidak hanya memberi manfaat ekonomis, tetapi juga menawarkan solusi konkret untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Pada tahun 2007, saat Ieko dan warga Kunciran Indah melihat Situ Cipondoh dipenuhi tanaman liar. Mereka lalu mulai mengambil langkah besar dengan mengirim surat permohonan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tangerang.
Permohonan tersebut bertujuan untuk mengikuti pelatihan menganyam di Yogyakarta untuk memanfaatkan eceng gondok menjadi barang kerajinan bernilai tambah.
Di tahun 2008, Ieko, 36 tahun, meniti langkah pertama dengan mencipta barang berbahan dasar eceng gondok. Kala itu modalnya hanya pelatihan menganyam selama 3 hari di Yogyakarya. Meski singkat, pengalaman itu begitu istimewa baginya.
Setelah mampu memproduksi kerajinan tangan berbahan eceng gondok, berbagai pameran diikutinya, mulai dari tingkat kelurahan hingga ke kancah nasional dengan memperlihatkan hasil usahanya usai mendapatkan pelatihan tersebut.
Kendati demikian, sesungguhnya mengolah bahan baku alam menjadi sebuah produk bernilai tambah bukanlah hal mudah. Segala macam rintangan dilalui dengan suka dan duka. Ieko tak patah arang, dia yakin usahanya akan membuahkan hasil.
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat serta masifnya kemunculan perdagangan elektronik, Ieko mencoba peruntungan melalui platform digital. Ibarat peribahasa "badai pasti berlalu", Ieko percaya bahwa kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil.
Selama 11 tahun Ieko menjalankan usahanya dengan tekun. Ia juga terus meningkatkan kualitas produknya di pasar lokal dan nasional. Melalui tangan-tangan 10 pegawainya, dia sudah membuat berbagai kerajinan seperti tikar, karpet, dan dekorasi rumah dari bahan dasar yang didapatkan secara gratis itu.
Pada tahun 2019, sebuah kesempatan meraup peluang bisnis itu datang. Dalam sebuah pameran berskala internasional di Jakarta Convention Centre (JCC), produknya mulai diminati pasar luar negeri, salah satunya adalah Los Angeles, AS.
Untuk sekali order, kala itu ia dapat meraup keuntungan sampai Rp40 juta. Hingga saat ini ia telah mengekspor produknya ke beberapa negara, antara lain, ke AS dan Ukraina melalui pasar digital.
“Ibarat jual rumput beli emas, dari yang terbuang menjadi uang, dari sampah menjadi berkah,” ujar Ieko mengibaratkan pengolahan eceng gondok menjadi produk seni.
Program digitalisasi UMKM
Menurut Ieko program digitalisasi UMKM yang digaungkan Pemerintah membantu dalam perjalanan usahanya. Bahkan sejak tahun 2022 sampai saat ini dia tergabung dalam sebuah aplikasi hasil besutan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama Pasar Digital (PaDi) UMKM.
PaDi UMKM merupakan sebuah platform digital yang mempertemukan UMKM dengan BUMN guna mengoptimalkan, mempercepat, dan mendorong efisiensi transaksi belanja BUMN pada UMKM, serta memperluas dan mempermudah UMKM mendapatkan akses pembiayaan.
Dengan aplikasi PaDi UMKM, Ieko mengaku sering kebanjiran pesanan dari perusahaan-perusahaan BUMN, sampai saat ini. Ieko pun tidak menyangka ketika harus menambah beberapa pegawai untuk membuat 500 produk kerajinan yang dipesan oleh salah satu BUMN.
“Aplikasi PaDI sangat membantu usaha saya. Saya selalu kebanjiran pesanan, sampai harus menambah pegawai,” ungkap Ieko.
Selain itu, aplikasi PaDi UMKM juga memudahkannya berjualan. Tidak perlu repot keluar rumah. Bahkan saat pameran, pembeli juga bisa melakukan transaksi melalui aplikasi tersebut.
Ketika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan memungut tarif Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen yang dibebankan kepada pelaku UMKM, baginya hal itu tidak mengurangi keuntungannya.
“Sekarang kan semua nontunai ya, daripada enggak jadi beli karena tidak bisa pakai QRIS malah rugi,” kata Ieko.
Saat ini Ieko mengaku sering mengikuti seminar-seminar terkait UMKM yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk melebarkan sayap usahanya ke skala yang lebih besar lagi.
Dengan ilmu yang didapat dari berbagai seminar tersebut, Ieko juga mengajak para mahasiswa dari berbagai universitas untuk bergabung ke dalam bisnisnya. Generasi
muda mempunyai literasi digital yang sangat baik sehingga cocok memasuki bisnis tersebut.
Usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) beserta koperasi memiliki peran sebagai tulang punggung dalam struktur ekonomi Indonesia dan wilayah ASEAN secara keseluruhan. Jumlah UMKM dan koperasi mencapai puluhan juta unit.
“UMKM dan koperasi merupakan tulang punggung ekonomi bagi Indonesia atau bagi ASEAN,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta.
UMKM dan koperasi memberi kontribusi sebesar 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menciptakan lapangan pekerjaan sebesar 96 persen.
Oleh karena itu, Pemerintah bersama BUMN serta berbagai asosiasi usaha--termasuk yang fokus pada usaha yang dikelola perempuan--memiliki beragam program pendampingan dan kompetisi guna meningkatkan semangat berwirausaha.
Guna menggalakkan semangat kewirausahaan tersebut, mereka juga harus memaksimalkan kolaborasi dan jaringan antarpelaku UMKM dan koperasi. Langkah ini diyakini menjadi kekuatan yang besar untuk memperbesar kue ekonomi yang digerakkan oleh UMKM dan koperasi.
Usaha UMKM bakal berkembang berkat program insentif Pemerintah, termasuk kebijakan dan fasilitas perizinan serta akses permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Beragam pendampingan dan insentif kepada UMKM dan koperasi tersebut menjadi salah satu pijakan untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah.
Ieko, dengan kerajinan eceng gondoknya, sudah membuktikan bahwa kreativitasnya itu mampu menghasilkan nilai tambah berlipat ganda pada produk yang dihasilkan.
Kalau semua sektor memberikan nilai tambah tinggi, asa menjadi bangsa berpenghasilan menengah-tinggi memang layak ditunggu.