Denpasar (ANTARA) - Dengan duduk di atas pasir dan beratap terpal warna hitam, Ahmad sibuk memperbaiki jaring ikan, meskipun saat itu ia sedang libur melaut.
Kedua tangannya cekatan memotong benang menggunakan pisau cutter sekaligus menyambung rajutan jaring yang robek.
Terkadang, ia harus berdiri dan menggunakan salah satu kakinya untuk mengencangkan jaring sepanjang sekitar 50 meter itu agar tak makin kusut.
Sesekali nelayan berusia 48 tahun itu mengusap keringat di wajah menggunakan pakaiannya.
Maklum, cuaca di pesisir Pantai Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, Bali, saat pagi menjelang siang itu cukup panas.
Menjadi nelayan adalah profesi utama pria asal Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut sejak masih muda hingga saat ini sudah memiliki dua anak.
Berkat menjadi nelayan pula, ia bisa menyekolahkan anaknya yang paling besar hingga tamat di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di kampung halamannya.
Meski begitu, sejak beberapa tahun terakhir, hasil tangkapannya tak menentu, kadang 15 kilogram ikan, kadang kurang dari 100 kilogram dan bahkan beberapa ekor ikan atau tidak mendapatkan hasil, sehingga ia pun merugi.
Padahal biaya yang ia keluarkan untuk mencari ikan rata-rata dalam satu kali melaut mencapai sekitar Rp400 ribu, sekitar Rp200 ribu di antaranya terserap untuk membeli bahan bakar minyak (BBM). Ia melaut menggunakan bensin, dengan harga Rp10 ribu per liter. Rata-rata sekali melaut hingga kembali menepi selama satu malam, ia menghabiskan sekitar 20 liter BBM.
Dengan menggunakan jukung atau perahu kayu khas Bali bernama “Rajawali 1”, ia melaut di sekitar perairan Uluwatu, Kabupaten Badung, dengan tangkapan biasanya ikan tongkol dan lemuru.
Ahmad tak bisa memperluas jangkauannya, salah satunya terkait biaya untuk membeli BBM.
Biaya lainnya adalah jasa mendorong jukung ke tengah laut, hingga biaya menaikkan dan menurunkan muatan dan ongkos untuk bekal selama melaut.
Ia juga harus membeli sekitar satu liter oli yang dicampurkan bersama bensin, agar operasi mesin kapalnya berjalan lancar.
Selain karena biaya, makin banyak BBM yang digunakan, maka makin besar pula tingkat pencemaran lingkungan yang berpotensi terjadi.
Hidrogen masa depan
Ahli ekonomi energi dari Institut Penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur (ERIA) Han Phoumin mengungkapkan hidrogen merupakan bahan bakar penting yang berkontribusi untuk mendukung energi bersih untuk masa depan.
Kebutuhan energi bersih pun diproyeksi meningkat seiring target netralitas karbon atau emisi nol karbon pada 2060 atau lebih cepat dari target.
Hidrogen pun dapat menjadi penentu energi bersih yang bisa digunakan untuk kebutuhan serbaguna, di antaranya sektor transportasi yang menyumbang lebih besar polusi.
Indonesia berpeluang besar memaksimalkan produksi hidrogen mengingat banyak sumber energi baru terbarukan (EBT) yang bisa juga memproduksi hidrogen, misalnya dari energi surya, panas bumi, hidro, dan angin.
Tak hanya itu, batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang salah satunya diproses melalui gasifikasi dapat menghasilkan bahan bakar hidrogen.
Kementerian ESDM mencatat bahan bakar hidrogen tanpa emisi itu di antaranya digunakan untuk peralatan elektronik, kendaraan listrik berbasis hidrogen, hingga skala besar pembangkitan listrik.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di sela Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-41 (AMEM) dan Forum Bisnis Energi ASEAN mengungkapkan di Asia Tenggara terdapat potensi EBT mencapai sekitar 17.000 gigawatt.
Sedangkan di Indonesia, potensi EBT diperkirakan mendekati 3.700 gigawatt dan yang baru dimanfaatkan mencapai sekitar 12,54 gigawatt.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM mempertimbangkan kontribusi hidrogen dalam transisi pemanfaatan energi menggunakan fosil ke energi bersih di Indonesia.
Untuk sektor industri, jumlah konsumsi hidrogen per tahun di Indonesia sekitar 1,75 juta ton yang didominasi untuk urea sebesar 88 persen, amonia sebesar empat persen dan kilang minyak sekitar dua persen.
Investasi energi bersih
Pemerintah Indonesia memiliki peta jalan emisi nol karbon pada 2060 dengan target menurunkan emisi karbon hingga 93 persen dari proyeksi 1.927,4 juta ton CO2 menjadi 129,4 juta ton CO2 oleh aktivitas bisnis, seperti industri, perumahan, transportasi, komersial, dan pembangkit listrik.
Salah satu strateginya adalah memanfaatkan hidrogen sebagai salah satu sumber energi baru dengan rencana pada 2031-2035 hidrogen hijau berperan penting dalam menurunkan emisi karbon atau dekarbonisasi sektor transportasi dan mulai menggantikan gas alam pada 2041-2050.
Untuk mendukung transisi energi, pastinya membutuhkan waktu dan biaya yang tak sedikit, selain dipacu komitmen yang besar dari seluruh elemen termasuk pemangku kepentingan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rangkaian AMEM ke-41 di Bali menyebutkan untuk merealisasikan transisi menuju energi bersih, negara di ASEAN perlu pembiayaan sekitar 29 triliun dolar AS hingga 2050 dengan skema 100 persen energi terbarukan, berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA).
Sementara dalam kajian Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi untuk energi bersih pada 2030, yakni tambahan investasi sebesar 8 miliar dolar AS per tahun.
Anggaran untuk mendorong transisi energi itu tidak semata berasal dari pemerintah, tapi bisa melalui skema inovatif, di antaranya pembiayaan campuran, atau melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (PPP), dan pendanaan internasional yang didukung insentif, kebijakan, hingga prosedur yang transparan.
Untuk itu, di tataran regional di Asia Tenggara sudah disepakati 12 kerja sama menyangkut penelitian, pembiayaan hingga pengembangan energi bersih melalui forum AMEM ke-41 di Bali.
Bukan tidak mungkin, energi bersih, termasuk hidrogen, dapat menjawab kebutuhan energi ramah lingkungan dan terjangkau kepada semua lapisan masyarakat di masa depan.
Dengan demikian, maka impian nelayan kecil seperti Ahmad yang mendambakan energi lebih baik dan terjangkau sangat mungkin bisa terwujud. Selain meningkatkan produktivitas, juga melindungi ekosistem dan sumber daya laut di dalamnya dari dampak emisi karbon.