Denpasar (Antara Bali) - Pemerintah Provinsi Bali mengakui sulitnya mewujudkan pembangunan infrastruktur jalan arteri baru menuju kawasan utara, Kabupaten Buleleng, karena masih terganjal ketersediaan dana pembebasan lahan.
"Di samping harga lahan mahal, juga karena tanah di daerah kita ini memiliki nilai budaya dan spiritual. Banyak pura dan bangunan suci pada kawasan yang direncanakan untuk membangun jalan baru," kata Asisten Sekdaprov Bali Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Kesra, Ketut Wija, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, berkaca dari pembangunan jalan tol yang menghubungkan Benoa-Bandara Ngurah Rai-Nusa Dua saja, banyak menghadapi persoalan karena arealnya diantaranya mengenai sanggah (bangunan suci) milik warga.
"Bisa jadi jika dilihat luasan lahan secara fisik tidak seberapa, namun karena adanya sanggah, untuk pembebasan itu kami juga harus mengganti hingga biaya upacaranya," ujarnya.
Wija menambahkan, telah ada tim independen bersertifikat dari Kementerian Keuangan untuk membantu pemerintah daerah dalam menaksir harga tanah sesuai dengan metode yang telah ditentukan.
"Namun, tim ini hanya bisa menaksir harga tanah berdasarkan pembanding yang ada, mereka tidak bisa menetapkan biaya upacara, harga sanggah, hingga biaya pemindahannya melalui upacara keagamaan," ujarnya.
Begitu juga dengan rencana Pemprov Bali membangun jalan yang menghubungkan kawasan Soka-Tanah Lot-Seririt dan Canggu-Beringkit-Pantai Purnama, guna memeratakan akses ekonomi wilayah utara, Kabupaten Buleleng, juga terganggal biaya pembebasan lahan.
"Pada pembangunan jalan menuju Seririt kami harapkan semuanya dapat dibiayai pemerintah pusat, termasuk pembebasan lahannya. Bahkan ada pemikiran dan kajian agar pembangunan jalan di atas sawah, jadi tidak perlu pembebasan lahan. Pemerintah pusat tampaknya sangat optimis dan merespon serta ingin memecahkan persoalan infrastruktur di Bali," ujarnya. (LHS/T007)