Denpasar (ANTARA) - Pada Kamis, 20 Juli 2023, tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Mabes Polri mengungkap kasus sindikat penjualan ginjal jaringan internasional di Bekasi, Jawa Barat.
Setelah dilakukan pengembangan oleh tim gabungan tersebut, polisi menetapkan 15 tersangka. dari belasan tersangka itu, empat orang merupakan petugas Imigrasi Ngurah Rai, Bali, dan satu orang anggota Polri.
Dalam kasus TPPO itu, tim gabungan dari Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Polres Metro Bekasi, di bawah asistensi dari Dittipidum Bareskrim Polri serta Divhubinter Polri mengungkap modus dari penjualan organ tubuh manusia (ginjal) dari jaringan Kamboja yang telah menelan korban 122 orang.
Dari 15 orang tersebut terungkap peran masing-masing tersangka, yakni 10 orang merupakan bagian dari sindikat dan seorang anggota polisi. Sementara empat petugas imigrasi membantu para tersangka agar tidak terlacak oleh aparat di sejumlah gerbang keluar bandara dengan mendapat imbalan sejumlah uang.
Tertangkapnya jaringan tersebut menambah bukti bahwa pemerintah, yakni aparat penegak hukum, tidak pernah berhenti mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan manusia.
Setidaknya, sejak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menunjuk Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Ketua Harian Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada 5 Juni 2023, satgas ini telah menyelamatkan 2.195 korban per 27 Juli 2023.
Baca juga: Kemenkumham Bali bentuk tim intelijen cegah perdagangan manusia
Angka tersebut berasal dari 722 laporan polisi di seluruh Indonesia dan pelaku yang berhasil ditangkap sejumlah 834 orang. Jumlah tersebut bertambah, seiring dengan pengungkapan kasus TPPO di sejumlah daerah dan pengembangan dari kasus yang terdahulu.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA menunjukkan data bahwa korban TPPO itu mayoritas menimpa kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak.
Modus baru
Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan orang meliputi tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, atau pemindahan seseorang dengan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, dan sebagainya, supaya pelaku bisa merampas kemerdekaan korban dan kemudian mengeksploitasi.
Bentuk eksploitasi pelaku terhadap korban dalam praktik perdagangan orang bisa beragam, mulai dari pemaksaan hubungan seksual, perbudakan atau kerja paksa, pengambilan organ/jaringan tubuh, atau pemanfaatan kemampuan korban lainnya secara paksa. Semua hal tersebut dikategorikan sebagai TPPO.
Menurut data kepolisian, jenis-jenis kejahatan terkait TPPO cukup beragam dan berkamuflase, sesuai perkembangan zaman, seperti online scammer (penipuan daring), perjudian, penyeludupan untuk tujuan prostitusi, anak buah kapal, pekerja rumah tangga, dan masih banyak lainnya.
Terkait penipuan daring, Kementerian Luar Negeri RI menggolongkan perdagangan manusia di bidang penipuan daring sebagai masalah regional.
Dalam tiga tahun terakhir, Kemlu telah menangani dan menyelesaikan 1.841 kasus penipuan daring, dimana korbannya WNI, yang tersebar di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, dan Filipina.
Baca juga: Polres Bandara Ngurah Rai gagalkan perdagangan empat WNI ke Qatar
Berdasarkan data pemetaan Polri, modus operandi dari TPPO pun beragam, seperti menawarkan pekerjaan di luar negeri dan bantuan pengurusan paspor, merekrut tanpa melibatkan perusahaan resmi penempatan pekerja migran, memberangkatkan korban dengan visa kunjungan dan membekali tiket pulang-pergi, menyeludupkan korban ke negara lain yang bukan negara tujuan awal.
Selain itu, mayoritas pelaku TPPO mengikat dengan kontrak kerja yang tidak diketahui korban, menempatkan korban di lokasi penampungan yang dijaga dengan tenaga khusus bersenjata, memaksa korban bekerja 16-18 jam setiap hari tanpa memberikan upah yang dijanjikan, serta pelaku tidak segan-segan melakukan kekerasan fisik kepada korban apabila bekerja tidak sesuai dengan perintah.
Selain kelompok rentan, perempuan dan anak, serta orang berpendidikan rendah, pelaku TPPO juga merambah masuk ke lembaga pendidikan tinggi, seperti kampus dengan menyasar kaum berpendidikan melalui program magang mahasiswa di luar negeri. Dari sana kita melihat ada pergeseran sasaran dari kaum berpendidikan rendah ke kaum berpendidikan tinggi.
Untuk memperlancar proses perekrutan korban dari Indonesia ke luar negeri, pelaku menempuh cara-cara ilegal melalui jalur-jalur yang lepas dari jangkauan petugas kepolisian.
Dalam konteks ASEAN, laporan Global Report on Trafficking in Persons 2022, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebutkan rasio jumlah korban perdagangan orang di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia, mencapai 0,34 korban per 100.000 penduduk pada 2020.
Data UNODC tersebut merujuk pada jumlah korban yang terdeteksi dan tercatat secara resmi oleh pihak berwenang, belum yang tercatat, sehingga rasio korban secara aktual bisa menjadi lebih tinggi.
Negara Asia Timur yang tercakup dalam laporan UNODC adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Singapura, Filipina, Thailand, Mongolia, Jepang, dan China. Kemudian negara Pasifik, meliputi Fiji, Palau, Tonga, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Mikronesia, Australia, dan Selandia Baru.
Laporan tersebut menyajikan data bahwa mayoritas korban perdagangan orang di wilayah Asia Timur dan Pasifik dieksploitasi untuk kerja paksa (54 persen), dan 38 persen dieksploitasi secara seksual, seperti untuk praktik pelacuran, 8 persen dieksploitasi dalam bentuk-bentuk lainnya. Korbannya pun beragam, dari orang tua hingga anak-anak.
Perkuat kerja sama
Terungkapnya anggota Polri dan empat petugas Imigrasi Bali dalam sindikat kejahatan internasional, beberapa waktu lalu, pada satu sisi menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum untuk mencegah semakin masif dan sistematisnya kejahatan lintas negara ini.
Namun, pada sisi lain pengungkapan keterlibatan aparat negara dalam melanggengkan kejahatan itu juga menjadi langkah maju yang membangkitkan optimisme bagi penindakan jaringan perdagangan orang.
Penanganan TPPO sangat penting dan mendesak mengingat setiap tahunnya Indonesia menjadi salah satu negara di ASEAN yang selalu kedatangan peti mati yang diisi oleh korban perdagangan orang dari berbagai negara.
Langkah cepat Polri dalam mengusut dan memproses aparat yang terlibat jaringan diyakini sebagai satu bentuk penanganan dari sisi pencegahan agar tidak ada lagi yang bermain-main terhadap martabat manusia, yakni para korban.
Langkah tersebut sekaligus diharapkan dapat meningkatkan citra Polri di mata masyarakat, dan di sisi lain menjadi bukti bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak hanya telah meratifikasi berbagai konvensi HAM sebagai bagian dari PBB, tetapi lebih dari itu, bertanggung jawab sebagai negara yang menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab, menjamin keselamatan warga negaranya dari mafia-mafia berjaringan internasional agar tidak ada lagi warga yang dieksploitasi.
Setidaknya, Indonesia memiliki modal optimisme yang kuat dalam upaya penanganan TPPO. Dari segi hukum, penindakan terhadap pelaku perdagangan manusia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Modal lain bagi Indonesia untuk memberantas TPPO pada level kawasan adalah deklarasi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) KE-42 ASEAN pada Mei 2023 yang diselenggarakan di Kota Super Prioritas Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Dalam forum ASEAN tersebut, Indonesia sebagai ketua mengajak negara anggota ASEAN untuk bersama-sama mendeklarasikan Pemberantasan Perdagangan Manusia akibat Penyalahgunaan Teknologi (Declaration on Combatting Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology).
Dalam dokumen itu, terdapat 15 poin penting yang akan dilakukan negara-negara di ASEAN untuk memerangi perdagangan manusia, baik dari sisi pencegahan sebagai gerakan bersama maupun dalam penanganan para korban.
Negara-negara ASEAN bersepakat untuk bekerja sama dalam meningkatkan kapasitas penegak hukum, berbagi praktik baik, hingga penyelidikan bersama terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) lintas negara.
Deklarasi itu juga memberikan perhatian khusus bagi korban TPPO dengan mendorong standar minimum perlindungan di tingkat regional bagi korban TPPO, menjajaki pengembangan mekanisme rujukan regional melalui mekanisme ASEAN untuk menghindari trauma yang berulang dan eksploitasi berkelanjutan terhadap korban.
Deklarasi yang menyoroti pemberantasan TPPO yang menekankan aspek penyalahgunaan teknologi memberikan semacam warning kepada masyarakat di kawasan ASEAN mengenai kejahatan kemanusiaan yang senantiasa mengintai setiap penggunaan teknologi informasi.
Kiranya peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia yang diperingati pada setiap 30 Juli menjadi momentum untuk menyatukan tekad dan kerja sama lintas negara ASEAN dalam memberantas TPPO. Kerja sama tersebut tidak hanya pada level atas antarintitusi pada setiap kawasan, tetapi juga menyentuh masyarakat akar rumput yang rentan dimanipulasi.
Eksploitasi manusia, berupa TPPO, merupakan kejahatan trasnasional melawan kemanusiaan yang harus dilawan, mengingat jaringan TPPO ini terstruktur, tersistematis, namun terputus, seperti kejahatan narkotika, sehingga dibutuhkan komitmen dan kerja lintas sektor untuk memberantasnya.
Pembentukan Satgas TPPO yang organnya tersebar di semua provinsi di Indonesia didorong untuk bekerja maksimal menyelamatkan korban dan mengungkap jaringan perdagangan manusia.