Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Kesadaran warga dan kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi tertular HIV/AIDS untuk memeriksakan kesehatan masih rendah.
Padahal saat ini pemerintah telah menyediakan "Voluntary Counseling and Testing" (VCT) telah tersebar di sejumlah rumah sakit dan puskesmas-puskesmas di Provinsi Bali.
Karena itu sosialisasi kepada masyarakat terkait keberadaan HIV/AIDS harus terus dilakukan melalui banjar (dusun adat) dan organisasi-organisasi kemasyarakatan serta LSM peduli AIDS di Pulau Dewata.
Keberadaan HIV/AIDS seperti "fenomena gunung es", artinya dipermukaan sangat sedikit kelihatan atau terdata penderita HIV, namun sebenarnya di lingkungan masyarakat kemungkinan lebih banyak dari data yang di publikasikan oleh dinas kesehatan maupun LSM peduli AIDS.
Pakar Andrologi dan Seksologi dari Universitas Udayana Prof Dr Wimpie Pangkahila menyarankan masyarakat melakukan konseling kesehatan secara sukarela untuk mencegah penularan penyakit seperti penyebaran virus yang menyerang kekebalan tubuh atau HIV/AIDS.
"Sebaiknya disarankan untuk melakukan tes itu khususnya mungkin bagi masyarakat pranikah, tetapi harus jujur untuk mengetahui ada tidaknya penyakit menular," katanya baru-baru ini di Denpasar.
Ia mengatakan semakin dini diketahui adanya penyakit akibat virus "Human Immunodeficiency Virus/Aquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)" itu, maka penanganan kesehatannya dapat segera dilakukan.
Wimpie lebih lanjut mengatakan saat ini masyarakat sudah mulai muncul keinginan untuk memeriksakan dirinya ke beberapa klinik konseling HIV, meskipun kesadaran terhadap hal itu dinilainya masih belum meningkat signifikan.
"Sekarang ini sudah mulai muncul, ada beberapa orang yang secara sukarela memeriksakan dirinya, tetapi itu masih kurang kesadarannya," ujar pemrakarsa Program Magister "Anti-Aging Medicine" Universitas Udayana itu.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, kasus HIV di Pulau Dewata sejak tahun 1987 hingga Agustus 2012 tercatat sebanyak 6.504 dengan korban meninggal karena AIDS sebanyak 271 orang dan HIV sebanyak 219 orang. Namun di luar jumlah itu diyakini masih banyak kasus yang belum terungkap atau terdata.
Ia mengakui bahwa saat ini jumlah kumulatif kasus HIV sejak pertama di temukan di Bali pada tahun 1987 semakin meningkat dan sebagian besar dialami melalui hubungan seksual heterogen.
Anak terjangkit HIV
Anak-anak yang hidup dengan HIV menghadapi beban ganda masalah kesehatan dan masalah sosial. Stigma dan diskriminasi masih tinggi di antara orang yang hidup dengan HIV (ODHA) dan ini diperparah ketika anak berstatus yatim piatu.
Selain itu, anak-anak yang hidup dengan HIV juga sangat rentan masalah kesehatannya. Sebuah penelitian di Kenya menunjukkan,anak-anak yang hidup dengan HIV mengalami gangguan perkembangan psikomotor serta penyakit yang berkaitan dengan pencernaan.
Dari data, usia 0-14 tahun yang mengidap HIV tercatat sebanyak 114 kasus. Dan yang ditemukan pada kondisi AIDS sebanyak 128 kasus. Data ini menunjukkan bahwa HIV-AIDS tidak hanya diderita oleh kelompok-kelompok dengan resiko tinggi serta orang dewasa, namun juga pada kelompok resiko rendah seperti anak anak. Kemungkinan besar, anak anak ini tertular HIV dari orang tuanya.
Yuni Ambara, pengelola media Komisi Penanggulangan AIDS Bali menyebutkan, gizi merupakan bagian penting dalam mempertahankan kualitas hidup ODHA.
Kebutuhan gizi orang yang hidup dengan HIV akan meningkat seiring dengan perkembangan virus di dalam tubuh. Tubuh memerlukan zat gizi untuk melawan virus HIV agar dapat mempertahankan kehidupan yang lebih panjang. (*/M038/T007)
Kesadaran Konseling AIDS Masih Rendah
Minggu, 2 Desember 2012 7:36 WIB