Denpasar (ANTARA) - Cara paling mudah dalam menyikapi peristiwa apapun adalah menyalahkan orang lain, apalagi tema "menyalahkan" itu menjadi menu utama dalam gosip, yang sejak lama menjadi hobi bangsa ini.
Celakanya, gosip itu kini lebih gaduh lagi, karena difasilitasi teknologi bernama media sosial (medsos). Runyam, kan?
Tidak terkecuali, Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang bermula dari untuk pertama kalinya Arema kalah dari Persebaya setelah 23 tahun.
Ada video yang menayangkan peristiwa versi suporter yang menyalahkan polisi karena menggunakan gas air mata yang dilarang FIFA, tapi ada juga scan surat izin kepolisian yang menyalahkan panitia karena menggeser jam pertandingan pada malam hari, padahal disarankan sore.
Ada juga suara/voice tentang suara pedagang dawet tentang suporter. Bahwa suporter menyasar pemain dan pelatih, lalu polisi berusaha menghalangi dengan tendangan dan pukulan, sehingga massa suporter bertambah dan mengamuk dalam kondisi mabuk.
Dalam situasi yang gaduh, kacau, dan perusakan yang meluas, polisi pun menggunakan gas air mata, sehingga massa panik dan kalang kabut menuju satu pintu hingga berjubel, berdesak, dan terjadi saling injak, sebagian mengalami sesak nafas hingga meninggal.
Tayangan video-video itu juga menunjukkan bahwa suporter Arema mengamuk, karena klub kesayangannya baru saja kalah melawan Persib Bandung di kandang sendiri dan kini kalah lagi dari Persebaya yang merupakan musuh bebuyutan.
Suporter pun emosi dan memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu Arema sendiri. Sekitar 40.000 penonton menunggu di stadion hingga pukul 22.00. Mereka masih ribut dengan teriakan dan lemparan.
Di dalam arena stadion, para pemain yang ada di tengah lapangan pun berinisiatif jalan bersama-sama ke arah tribun penonton. Mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Tiba-tiba terlihat ada penonton meloncat pagar. Ia lari masuk ke arena lapangan.
Penonton itu menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Ia merangkul kiper, lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi penonton lain pun berhasil meloncati pagar dan merangsek ke pemain Arema.
Arena lapangan pun penuh. Petugas keamanan bertindak dan di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Ada yang menendang, ada yang memukul.
Tokoh pers H Dahlan Iskan dalam catatan yang bertajuk "Tragedi Bola Kanjuruhan" (3/10/2022) mencatat adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap.
Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.
Dari situlah tragedi itu meledak. Jadi, tragedi itu bukan Arema melawan Persebaya, bukan Aremania melawan Bonek. Ini penonton melawan petugas. Menurut Dahlan Iskan, tindakan menghardik mereka hanya menambah emosi, apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Yang bikin panik, bikin sesak, bikin berdesakan, sehingga kita pun juara dunia sepak bola dari sisi tragedi.
"Tidak menyalahkan"
Agaknya, tayangan-tayangan video dan catatan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan itu mengerucut pada dua sisi, yakni suporter atau petugas keamanan, yang sama-sama punya peran untuk salah, karena sama-sama emosi.
Nah, langkah terbaik menyikapi "gosip" maya di medsos adalah bersikap kritis dan sabar untuk menunggu proses mencari siapa yang salah kepada pihak berwenang (TPF/tim pencari fakta) dalam kurun waktu tertentu, bukan terburu-buru memvonis, karena bisa jadi semacam kecelakaan yang terjadi di pintu keluar yang berdesak-desakan akibat kepanikan, seperti insiden haji di Mina.
Ada saran menarik dari ulama muda asal Jeddah, Arab Saudi, Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, yang pernah menangani "kartun Nabi" di Denmark. "Jangan menjadikan digital sebagai sumber ilmu utama, melainkan sebagai media informasi saja," katanya (24/8/2022).
Ya, pihak lain seperti kita yang tidak terlibat dalam pusaran "tragedi" itu sebaiknya fokus pada penanganan korban, karena tindakan "menyalahkan" justru akan memantik praduga, saling curiga, dan kemarahan yang justru bukan solusi. Kembalikan solusi pada (penyelidikan) "sanad" (ahlinya).
Dalam dunia medsos agaknya kesabaran untuk menunggu dan tidak mencari-cari kesalahan itu penting. Penulis menilai cara terbaik adalah belajar kepada "Ilmu Hadits" dalam cara mengolah informasi yang datang dan cara mengecek kesahihan/kebenaran informasi itu,apalagi dalam peliputan kasus itu sebaiknya bersumber dua pihak/versi, bukan sepihak.
Ilmu Hadits mengajarkan pentingnya melihat informasi (juga, informasi medsos) dalam tiga koridor yakni "sanad" (sumber/narasumber/kompetensi), "matan" (materi yang akurat/positif/seimbang), dan "rawi" (penyampai/media yang menyertakan "sanad", bukan asal share tanpa narasumber).
Barangkali, upaya bersabar menunggu proses dari pihak berkompeten itu bisa diawali dengan pernyataan-pernyataan bersahabat dan "tidak menyalahkan" seperti pernyataan dari kelompok suporter Persebaya, Bonek.
Koordinator suporter Bonek Mania Husin Ghazali mengaku sangat menyesalkan dan prihatin atas kejadian ini. Semoga tragedi ini menjadi insiden terakhir. Baginya, rivalitas kedua tim hanya 90 menit di lapangan dan selebihnya harus saling menghormati.
Selanjutnya, perlu dilakukan evaluasi semua pihak, sekaligus dilakukan pembenahan demi kebaikan dan menuju sepak bola yang bisa dinikmati semua kalangan, katanya (2/10/2022).
Baginya, kemenangan tim Bajol Ijo melawan Arema FC pada Liga 1 Indonesia itu tidak ada artinya dibandingkan hilangnya nyawa manusia. Pernyataan indah, bukan?!
Pernyataan Bonek yang indah itu melahirkan empati/kasih sayang (memperlakukan semua orang di dunia maya dengan bermartabat dan hormat), menghormati perbedaan, berpikir sebelum posting, dan membela orang lain dengan dukungan respons (menyelamatkan atau menolong).
Ya, pernyataan bonek itu cukup simpatik, namun pernyataan yang indah itu tidak ada di medsos, karena video, foto dan narasi di medsos justru satu komando, yakni mencari siapa yang salah.
Paling tidak, Tragedi Kanjuruhan mengajarkan pentingnya sikap kritis dan sabar dalam mencermati narasi/gambar yang disajikan medsos agar tidak terjebak dalam sikap buru-buru yang justru membuat gaduh dan masalah menjadi semakin runyam.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Medsos dan Tragedi Kanjuruhan