Denpasar (Antara Bali) - Budayawan Bali, Ketut Syahruwardi Abbas, menilai kontribusi kalangan politikus Islam di Pulau Dewata dirasakan masih sangat minim.
"Mereka (politikus Islam) tidak pernah aktif bergotong-royong bersama masyarakat Bali, tapi mereka minta hak yang sama dengan politikus Hindu," katanya dalam refleksi akhir tahun bersama Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Bali di Denpasar, Sabtu.
Selain itu, dia juga mengkritik sikap politikus Islam yang tidak pernah memahami kepentingan umat Islam di Bali dalam jangka panjang, kecuali hanya untuk kepentingan pragmatisme menjelang perhelatan politik.
Menurut dia, masyarakat Bali telah bersusah payah membangun budaya dan tradisi dengan biaya yang tidak sedikit, sementara latar belakang politikus Islam adalah perantauan yang sedang mengadu nasib di daerah kunjungan wisata internasional itu.
"Mereka ke sini hanya cari duit. Lebaran mereka pulang. Di Jawa rumahnya megah dan hartanya berlimpah," kata budayawan beragama Islam asal Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, itu.
Sayangnya politikus Islam di Bali tidak pernah menyadari akan hal itu. "Jangan dikira masyarakat Bali tidak cemburu. Mereka menikmati itu, akan tetapi mereka tidak pernah merasakan yang dialami masyarakat Bali," kata Ketut Syahruwardi.
Ia berpendapat bahwa politikus Islam di Bali bisa diperhitungkan melalui modal kejujuran dalam berpolitik. "Tidak korupsi dan menolak pemberian uang siluman bisa menjadi modal utama," katanya.
Menurut dia, politikus Islam di Bali tidak perlu pandai dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan para penguasa. "Asalkan jujur, pasti politikus Islam akan diperhitungkan," katanya.
Sementara itu, Ketua KAHMI Bali, Delly Yusar, mengemukakan bahwa dengan jumlah umat Islam di Kota Denpasar yang mencapai sekitar 30 persen sudah seharusnya ada satu fraksi partai politik Islam di parlemen.
"Pada Pemilu 1999 dan 2004, di DPRD Kota Denpasar ada satu fraksi berasaskan Islam. Tapi, pada Pemilu 2009 hanya menghasilkan dua kursi di legislatif. Ini menunjukkan bahwa sikap politik umat Islam di Bali tidak terakomodasi secara maksimal," katanya.
Ia menilai para politikus Islam di Bali cenderung bersikap eksklusif dan kurang berbaur dengan umat lainnya, termasuk dengan umat Hindu sebagai penduduk mayoritas di Pulau Dewata.
Pengamat politik, Eep Saifulloh Fatah, justru melihat bahwa partai politik Islam memiliki peluang yang sama dengan partai politik lainnya untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2014.
Hal itu didasari bahwa peta politik di Bali sangat dinamis, setidaknya jika melihat hasil perolehan suara partai-partai politik dalam tiga kali pemilu terakhir.(M038/T007)