Jakarta (Antara Bali) - Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia
Corruption Watch (ICW), Lalola Easter menyatakan beredarnya surat
telegram Kapolri dikhawatirkan akan menular ke lembaga lainnya.
Dalam surat itu, disebutkan bahwa para penegak hukum harus
memperoleh izin Kapolri terlebih dahulu saat memanggil anggota Polri,
melakukan penggeledahan dan penyitaan, dan memasuki lingkungan Markas
Komando Polri (Mako Polri).
"Lembaga-lembaga seperti Kejaksaan, TNI, DPR, DPD, BPK, MK dan
lembaga atau komisi negara lainnya sangat mungkin akan membuat aturan
serupa mengharuskan adanya izin dari pimpinan lembaga sebelum diperiksa
atau digeledah oleh lembaga penegak hukum," kata Lalola dalam konferensi
pers di kantor ICW, Jakarta, Senin.
Menurut dia, keberadaan telegram itu juga memiliki konsekuensi
hukum yang serius karena berpotensi untuk dimaknai sebagai upaya
menghalang-halangi penegakan hukum dan dapat dikenakan pidana.
"Ini harus diklarifikasi tetapi kembali lagi hal seperti ini yang
muncul di kacamata publik seolah-olah kepolisian menutup diri. Yang
harus dilihat adalah ketika ada proses hukum terhadap anggota kepolisian
itu tidak bisa dianggap serta-merta sebagai ancaman terhadap Polri,"
tuturnya.
Ia menilai kalau memang Polri mau berpikir jernih, seharusnya
anggota-anggota Polri yang terlibat dalam perkara hukum itu sekalian
dibersihkan saja.
"Itu kan patut diduga jangan-jangan orang itu peformanya juga tidak
baik. Dari pada memperpanjang proses hukum yang sepertinya bisa
diselesaikan dengan cepat, yang seharusnya juga bisa membantu kepolisian
dalam melakukan bersih-bersih itu tidak perlu lagi diperpanjang,"
ujarnya.
Menurut Lalola, seharusnya dan sepatutnya memang tidak perlu ada
sentimen kelembagaan ketika ada anggota kepolisian yang dipanggil
sebagai saksi atau tersangka yang kemudian ada penggeledahan, juga
sebaiknya tidak dianggap sebagai serangan terhadap Polri.
"Telegram ini seharusnya mengatur ke dalam kemudian disebarkan juga
kepada para Kapolda. Yang jadi pertanyaan ketika telegram yang
seharusnya kekuatannya hanya untuk internal kemudian juga mengatur di
luar. Misalnya ketika mau pemeriksaan, anda harus suruh dulu tuh aparat
penegak hukumnya untuk minta izin ke Kapolri, itu di mana logikanya?,"
kata dia.
ICW pun menyarankan agar Presiden Joko Widodo meminta klarifikasi
kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian agar publik mengetahui alasan
dibalik beredarnya surat telegram tersebut.
"Dan kenapa kemudian untuk hal yang teknis ini dikeluarkan oleh
Kapolri tetapi tanda tangannya dari Kadivpropam Polri Irjen Pol Idham
Azis, itu kan teknis tapi krusial," ucap Lalola.
Sebelumnya, pada 14 Desember 2016 lalu, Kapolri melalui Kadivpropam
Polri mengeluarkan surat telegram dengan Nomor
KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM yang intinya berisi imbauan kepada para
Kapolda, yaitu kewajiban para penegak hukum antara lain KPK, Kejaksaan,
dan bahkan Pengadilan untuk memperoleh izin dari Kapolri untuk memanggil
anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memasuki
lingkungan Markas Komando Polri (Mako Polri). (WDY)
ICW: Telegram Kapolri Dikhawatirkan Menular ke Lembaga Lain
Selasa, 20 Desember 2016 8:20 WIB