Denpasar (Antara Bali) - Pusat Penyelamatan Penyu di Pulau Serangan, Kota Denpasar, yang dikelola BKSDA Bali bekerja sama dengan PT Citra Taman Penyu, menjadi salah satu objek wisata yang diminati turis asing maupun domestik.

"Sekarang ini setiap hari ada 20 hingga 30 orang turis asing maupun lokal yang datang ke tempat penyelamatan penyu ini," kata Wayan Raga (56), perawat sekaligus pemilik lahan penyelamat satwa dilindungi tersebut saat ditemui di Denpasar, Selasa.
    
Ia mengemukakan bahwa peristiwa bom Bali pada 2002 telah banyak berpengaruh pada jumlah kunjungan ke tempatnya membesarkan tukik-tukik dan memelihara induknya tersebut. Sebelum ada peristiwa terorisme, lokasi itu dikunjungi lebih banyak wisatawan per hari.
    
Saat berkunjung ke lokasi di dekat laut itu, wisatawan bisa melihat gerakan penyu-penyu berusia di bawah enam bulan hingga yang berusia 85 tahun. Wisatawan juga bisa berinteraksi dengan penyu tersebut sambil memberi pakan berupa rumput laut.
    
Menurut Raga, pihaknya tidak memungut biaya masuk ke lokasi konservasi tersebut karena sesuai UU tidak boleh dikomersialkan. Hanya saja pengunjung bisa memasukkan uang ke kotak yang disediakan dan nantinya digunakan sebagai pengganti pakan satwa tersebut.
    
"Biaya memelihara penyu ini sangat mahal. Untuk pakan saja dibutuhkan dana Rp300 ribu setiap hari. Udangnya yang banyak, sampai Rp250 ribu, sedangkan yang Rp50 ribu untuk membeli rumput laut. Udang-udang itu digunakan untuk pakan tukik, sedangkan penyu dewasa diberi makan rumput laut," kata Raga.
    
Ia mengemukakan bahwa saat masih tukik atau belum berumur enam bulan, satwa-satwa tersebut belum mau makan rumput laut. Penyu kecil itu baru bisa diajari makan rumput saat berusia enam bulan ke atas. Perawatan tukik itu juga ditempatkan tersendiri dalam keranjang terapung agar tidak dimakan oleh penyu dewasa.
    
Pusat penyelamatan penyu yang berdiri sejak sekitar tahun 1970 tersebut menempati areal seluas 9,5 are dengan kolam air laut 4,5 are. Saat ini penyu dan tukik yang dipelihara sebanyak 647 ekor yang umumnya penyu hijau.
    
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bali Sumarsono mengemukakan bahwa pihaknya harus bekerja sama dengan swasta atau masyarakat untuk pemeliharaan penyu tersebut karena terkendala tidak adanya dana dari pemerintah.
    
"Karena itu kami bekerja sama dengan pak Wayan Raga ini. Penyunya milik negara, tapi pengelolaannya ditangani pak Wayan Raga. Karenanya, semua yang terkait dengan penyu di sini ada berita acaranya, seperti mati, dilepas ke laut atau dimanfaatkan untuk upacara keagamaan," katanya.
    
Ia menjelaskan bahwa masyarakat Bali yang memerlukan daging penyu untuk keperluan upacara agama harus memiliki rekomendasi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Setelah itu BKSDA memberikan izin kepada masyarakat untuk keperluan upacara agama dengan ketentuan penyu yang sudah berumur satu tahun ke atas.
    
Penyu-penyu di lokasi tersebut, katanya, merupakan hasil penetasan telur dan satwa sitaan. Meskipun ada yang berusia puluhan tahun, namun penyu-penyu di lokasi itu tidak pernah menghasilkan telur lagi.
    
"Penyu itu satwa super sensitif saat hendak bertelur. Kalau di alamnya di laut, saat hendak mengeluarkan telur, harus betul-betul aman dan selalu pada malam hari. Kalau ada suara berisik sedikit atau ada cahaya lampu sedikit saja, penyu yang mau bertelur itu kembali lagi ke laut," katanya.
    
Karena itu, kata Sumarsono, penyu-penyu dewasa di lokasi itu hanya dipelihara dan tidak bisa dibudidayakan.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011