Kuta (Antara Bali) - Aliansi internasional sertifikasi hutan (PEFC) menyatakan bahwa sebanyak 1,8 juta hektare hutan di Indonesia sudah mendapatkan sertifikat yang menandakan bahwa produk hutan tersebut berasal dari pengelolaan yang berkelanjutan.
"Sertifikasi itu sifatnya sukarela bukan wajib," kata Kepala Proyek dan Pengembangan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) Sarah Price saat menjadi pembicara dalam lokakarya jurnalis terkait "Pendekatan Bentang Alam" di Kuta, Kabupaten Badung, Selasa.
Konsultan Perkumpulan Kerja Sama Sertifikasi Kehutanan Indonesia/Indonesia Forestry Certification Cooperative (IFCC) Nurcahyo Adi menambahkan bahwa luas hutan 1,8 juta hektare tersebut dikelola oleh dua perusahaan di Riau.
Luas lahan Indonesia, kata dia, berdasarkan statistik mencapai sekitar 120 juta hektare, seluas 60 juta hektare di antaranya merupakan hutan produksi.
"Dari 60 juta hektare luas hutan itu, seluas 30 juta hektare di antaranya rusak," imbuhnya.
Nurcahyo mengatakan bahwa selain hutan produksi, hutan di Indonesia juga merupakan hutan yang dikelola masyarakat, desa, hutan yang berada di luar tanah negara dan ada juga hutan yang berada di dalam tanah negara yang dikelola masyarakat.
PEFC sendiri telah memberikan sertifikasi sebanyak 17.500 rantai pemasaran produk hutan di 62 negara dan telah memberikan sertifikat untuk 300 juta hektare hutan dengan 700.000 sertifikat di 34 negara, termasuk Indonesia.
Dengan adanya sertifikasi itu, negara pengekspor kayu dapat menjamin legalitas produk dari produksi kayu, produk kayu yang tersertifikasi juga mudah dilacak pengelolaannya, termasuk manajemen pengelolaan hutan.
PEFC merilis bahwa baru 10 persen hutan di dunia yang tersertifikasi. Meski demikian, bukan berarti 90 persen hutan di dunia yang belum tersertifikasi memiliki manajemen pengelolaan hutan yang kurang baik karena pengajuan sertifikasi itu bersifat sukarela.
Dari 10 persen hutan yang sudah disertifikasi itu, sebanyak 28 persen di antaranya untuk suplai kayu industri.
Nurcahyo menyebutkan biaya untuk sertifikasi tersebut bervariasi mulai Rp10 juta hingga Rp2 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Sertifikasi itu sifatnya sukarela bukan wajib," kata Kepala Proyek dan Pengembangan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) Sarah Price saat menjadi pembicara dalam lokakarya jurnalis terkait "Pendekatan Bentang Alam" di Kuta, Kabupaten Badung, Selasa.
Konsultan Perkumpulan Kerja Sama Sertifikasi Kehutanan Indonesia/Indonesia Forestry Certification Cooperative (IFCC) Nurcahyo Adi menambahkan bahwa luas hutan 1,8 juta hektare tersebut dikelola oleh dua perusahaan di Riau.
Luas lahan Indonesia, kata dia, berdasarkan statistik mencapai sekitar 120 juta hektare, seluas 60 juta hektare di antaranya merupakan hutan produksi.
"Dari 60 juta hektare luas hutan itu, seluas 30 juta hektare di antaranya rusak," imbuhnya.
Nurcahyo mengatakan bahwa selain hutan produksi, hutan di Indonesia juga merupakan hutan yang dikelola masyarakat, desa, hutan yang berada di luar tanah negara dan ada juga hutan yang berada di dalam tanah negara yang dikelola masyarakat.
PEFC sendiri telah memberikan sertifikasi sebanyak 17.500 rantai pemasaran produk hutan di 62 negara dan telah memberikan sertifikat untuk 300 juta hektare hutan dengan 700.000 sertifikat di 34 negara, termasuk Indonesia.
Dengan adanya sertifikasi itu, negara pengekspor kayu dapat menjamin legalitas produk dari produksi kayu, produk kayu yang tersertifikasi juga mudah dilacak pengelolaannya, termasuk manajemen pengelolaan hutan.
PEFC merilis bahwa baru 10 persen hutan di dunia yang tersertifikasi. Meski demikian, bukan berarti 90 persen hutan di dunia yang belum tersertifikasi memiliki manajemen pengelolaan hutan yang kurang baik karena pengajuan sertifikasi itu bersifat sukarela.
Dari 10 persen hutan yang sudah disertifikasi itu, sebanyak 28 persen di antaranya untuk suplai kayu industri.
Nurcahyo menyebutkan biaya untuk sertifikasi tersebut bervariasi mulai Rp10 juta hingga Rp2 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016