Denpasar (Antara Bali) - Pembina Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB) Ir. I Gusti Ngurah Bagus Muditha yang dikenal dengan Turah Pemayun mengatakan, Bali memiliki beragam warisan leluhur yang sesuai dengan perkembangan zaman yang bermilai universal.

Bali merupakan pulau yang unik penuh dengan keragaman budaya, adat dan kesenian. Menyimpan warisan leluhur yang memiliki tata krama dan tata nilai luhur mengedepankan kejujuran.

Ia menjelaskan, masyarakat Bali khususnya anak-anak muda mampu menerapkan warisan yang positif dalam kehidupan sehari-hari sesuai peran masing-masing.

"Anak-anak muda Bali memiliki kecerdasan dan mampu membedakan mana budaya atau warisan leluhur dan patut tidakya dilanjutkan," ujar Gusti Ngurah Bagus Muditha.

Untuk itu, pendidikan formal atau sekolah di Bali perlu mempelajari budaya yang dikemas dengan menarik untuk menumbuhkan minat mempelajarinya.

Oleh karena, banyak istilah moderen saat ini, itu sudah ditemukan pada warisan leluhur misalnya Hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat.

Sementara itu, umat Hindu khususnya di Bali memiliki hari cinta kasih yang lengkap bersifat spiritual sering dikenal dengan "Tumpek" yakni pada hari Sabtu kliwon.

"Tumpek" merupakan cara mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta atau Tuhan yang Maha Esa dengan jalan mensyukuri segala ciptaannya baik yang kita nikmati secara langsung maupun tidak.

Ia menuturkan pula berbagai macam 'Tumpek' dengan tujuan yang berbeda yakni 'Tumpek Landep' untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai 'Hyang Pasupati' atas ciptaanya dan dirayakan setiap 210 hari tepatnya Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep.

"Mengingatkan, selalu mengasah dan selalu menajamkan pikiran agar bisa memilah mana yang baik mana yang buruk," kata Turah Pemayun.

'Tumpek Wariga' (Pengatag/Uduh/Bubuh) untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manisfestasinya 'Sang Hyang Rare Angon' atau 'Dewa Sangkara' yakni Sabtu Kliwon Wuku Wariga.
Mengingatkan betapa pentingnya melestarikan lingkungan khususnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan untuk menjaga kelangsungan hidup.

Sedangkan, 'Tumpek Kuningan' merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi 'Sang Hyang Ista Dewata', Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karunia-Nya berupa kebutuhan pokok.

Pada hari tersebut sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan 'suksmaning idep' sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari 'Sang Hyang Widhi Wasa' berupa bahan-bahan sandang, papan dan pangan.

Selanjutnya, 'Tumpek Klurut' (Lulut) pada hari Sabtu, kliwon, wuku Krulut, setiap 6 bulan (210 hari). Kata "Lulut" dalam Bahasa Bali berarti jalinan/rangkaian untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai 'Dewa Iswara' bersyukur atas terciptanya suara-suara suci/tetabuhan.

'Tumpek Uye (kandang)' yang merupakan hari raya pada setiap Saniscara Kliwon 'Wuku Uye'.  Pada kesempatan tersebut, diharapkan menjadi tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan dengan memuja 'Siwa Pasupati' yang telah menciptakan satwa.

"Makna yang terkandung bahwa umat hendaknya mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk ciptaan-Nya khususnya kepada hewan atau binatang peliharaan," kata Turah Pemayun

Serta 'Tumpek Wayang' pada setiap 'saniscara kliwon wuku wayang' adalah manifestasinya 'Dewa Iswara'.
Berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan kehidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan.

Turah Pemayun menjelaskan, sebagaimana diketahui kehidupan di dunia, selalu diliputi dua kekuatan yang disebut 'Rwa Bineda' yang sudah barang tentu ada pada sisi ke hidupan manusia.

Bercermin dari tatwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.
Bahkan mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya bisa menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik.

Di samping itu, dalam tradisi agama Hindu di Bali tidak mengenal adanya hari ulang tahun seperti yang dilakukan dunia barat dikarenakan mempunyai sistem perhitungan hari kelahiran yang disebut sebagai 'Otonan'.

"Otonan berasal dari kata "pawetuan", yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada Sapta wara, Panca wara, dan Wuku yang peringati setiap 210 hari atau setiap 6 bulan (Satu bulan 35 hari)," tutur Turah Pemayun.

Perayaan tersebut, tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga mampu mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan otonan.

Kegiatan tersebut, sebagai bentuk intropeksi diri dan memgingatkan kepada anak atau individu untuk sungkem, santun, hormat, bijaksana dan welas asih baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat.

"Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi," kata Turah Pemayun.

Hal tersebut menunjukkan sebagai masyarakat Bali kaya akan warisan leluhur yang bernilai universal namun belum banyak yang mengetahui maknanya.

Ia mengharapkan, anak-anak muda di Bali sebagai penerus agar meningkatkan kuantitas belajar,khususnya mempelajari budaya dan sejarah Bali.

Belajar lebih efektif langsung terjun ke masyarakat yang berkaitan, tidak saja mengandalkan pendidikan formal.

MENGHARGAI KEHIDUPAN

Turah Pemayun mengatakan, warisan leluhur Bali juga menghargai kehidupan terlahir sebagai manusia untuk kesempatan yang mulia memperbaiki diri sendiri.

Untuk itu, melakukan upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan yang disebut 'manusa yadnya'.

Kegiatan tersebut, erat hubungannya dengan 'Catur Purusa Arta' yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka.

Ia menjelaskan, proses kelahiran manusia diawali dengan upacara 'Magedong- gedongan' atau 'Garbhadhana Samskara' yang dilaksanakan pada saat bayi masih dalam kandungan berusia 7 bulan.

Upacara kelahiran dengan melaksanakan upacara 'Jatakarma Samskara' sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.

Selanjutnya, upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.
Setelah bayi umur 12 hari, dilaksanakan upacara 'Ngelepas Hawon', pada kesempatan itu biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.

Upacara kambuhan setelah bayi berusia 42 hari, tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala).

Turah Pemayun menambahkan, upacara 'nelu bulanin' atau Niskramana Samskara, dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan 'pawukon'.

Berikutnya, upacara otonan yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan 'pawukon'. Upacara tersebut bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih baik.

Di samping itu, upacara tumbuh gigi atau 'Ngempugin', upacara tanggalnya gigi pertama atau 'Maketus', upacara menek deha atau 'Rajaswala', potong gigi atau 'mepandes/metatah', perkawinan atau 'Pawiwahan / Wiwaha', dan upacara setelah meninggal.

Hal tersebut, bentuk penghargaan setiap jenjang kehidupan yang patut dihargai dan memahami tujuan akhir kehidupan dengan baik.

Ia juga menjelaskan, penamaan orang Bali memiliki ciri khas tersendiri mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan sebagainya.

Sebutan huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni.

Jika ia terlahir di keluarga penempa besi,  maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana.  Serta gelar Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.

Nama Wayan berasal dari kata "wayahan" yang artinya yang paling matang.  Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah.

Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna "sisa" atau "akhir".  Sedangkan anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno "Kitut".

"Semua nama itu mempunyai makna yang menunjukkan tata krama orang Bali yang luhur," ujar Turah Pemayun. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016