Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Setiap datangnya perayaan Galungan, barulah celengan itu boleh dipecahkan. Uang yang terkumpul dalam celengan akan dibelikan baju baru. Sambereg berharap kebiasaan menabung sedari kecil, bisa menjadikan anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang lebih menghargai uang. Tidak boleh asal-asalan menggunakannya untuk hal-hal yang kurang penting. Sekalipun belum terlalu mengerti maksud dari sang ayah, tapi Sri Darma tetap menjalankan perintah ayahnya, yaitu memasukkan uang bekal sekolah ke dalam celengan.

Perlahan kebiasaan menabung dalam celengan tak dilakoni lagi semenjak Sri Darma menginjak bangku SMP. Apakah itu pertanda kalau sang Ayah mulai membebaskannya membawa uang jajan ke sekolah? Ya, Sri Darma memang sudah diberikan membawa uang jajan, tapi tidak secara bebas. Ada jatah nominalnya. Setiap bulan tak lebih dari 20 ribu rupiah. Uang itu tak bisa digunakan sekehendak hati. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus ada pertanggungjawabannya. Sambereg mewajibkan anak-anaknya membuat laporan keuangan yang diberikan catatan setiap pemasukan serta pengeluaran. Kalaupun uang 20 ribu rupiah itu tidak mencukupi semua keperluannya selama sebulan, maka jangan harap Sambereg akan mau memberi uang tambahan. Jika betul-betul mendesak, boleh saja ada uang tambahan asalkan pengeluarannya tidak mengada-ada dan masuk akal.

Saking takutnya terkena hukuman, Sri Darma sampai tak berani menyalahgunakan uang yang diberikan ayahnya. Sebagai contoh, saat meminta uang pada ayahnya untuk membeli buku pelajaran, dia harus sudah membawa data berapa harganya dan dimana akan membelinya. Karena itu, sebelum menghadap ayahnya untuk keperluan itu, terlebih dahulu dia mengecek harganya di toko buku. Dia lakoni kewajiban itu dengan cara mengayuh sepeda, menyusuri jalanan Denpasar untuk sampai di Toko Buku Saraswati yang berlokasi di daerah Veteran, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumahnya.

Setelah harga buku diperoleh, Sri Darma pulang lagi ke rumah untuk memberitahu ayahnya sekaligus meminta uang. Selanjutnya, sambil membawa uang pemberian sang ayah yang pas sesuai dengan harga buku, Sri Darma kembali mengayuh sepedanya menuju Toko Buku Saraswati. Terdengar melelahkan sekali perjuangannya untuk membeli buku. Namun memang seperti itulah sang ayah mengajarinya untuk menghargai uang. Karena tidaklah mudah mencari rupiah demi rupiah. Bagaimanapun juga, Sri Darma bisa merasakan perjuangan kedua orang tua dalam mencari uang demi menghidupi keluarga.

Ketika beban kehidupan semakin sulit, mengingat semua anak butuh biaya. Demikian pula untuk kepentingan ritual dan sosial, maka Sambereg pun membuat terobosan, belajar lahan bisnis. Jelas masih bisnis kecil-kecil, meski di kemudian hari berkembang cukup pesat.  Diawali dengan mengelola ternak ayam, yang tadinya hanya beberapa ekor lantas berkembang menjadi 1000 ekor. Semuanya diternakkan di rumah sendiri, di salah satu pojok halaman. Tenaga kerjanya, artinya orang-orang yang diberikan tanggung jawab memberikan makan adalah anak-anaknya sendiri. Sedangkan sang istri, Kundri kebagian mengurus para pedagang yang sengaja datang ke rumah untuk membeli telur-telur ayam.

Bisa dikatakan bisnis ternak ayam yang digeluti Sambereg dan keluarga berjalan cukup stabil dan jelas menjanjikan secara materi. Meski begitu, dia masih ingin mencoba mencicipi bisnis lainnya. Siapa tahu bisa sesukses bisnis ternak ayam. Dipilihlah bisnis penyewaan dokar dan sepeda motor. Dia memiliki sebuah dokar yang sengaja disewakan pada sesorang. Sama juga dengan penyewaan sepeda motor. Namun bedanya, si penyewa dokar mangkal di ujung selatan Jalan Kartini, Denpasar menyasar penumpang yang hendak ke tempat-tempat yang tak terjangkau kendaraan umum.

Sore hari dokar dikembalikan kepada Sambereg setelah membayar uang sewanya. Sedangkan penyewa sepeda motor mangkal di Terminal Suci untuk menyasar para penumpang menuju ke tempat yang tak terjangkau kendaraan umum dan yang tak mau memakai jasa angkutan dokar. Sama halnya dengan dokar. Sore hari si penyewa mengembalikan sepeda motor itu kepada Sambereg setelah membayar uang sewa. Sekalipun punya usaha tambahan, namun tak sampai mengganggu waktunya untuk mendidik keempat anaknya.

Bedanya Sekolah Swasta dan Negeri

Kedisiplinan yang diajarkan sang ayah, dirasa belum cukup sebagai bekal mengarungi kerasnya kehidupan. Karena itu perlu diimbangi dengan pendidikan formal di sekolah. Diawali dari jenjang taman kanak-kanak. Sang ayah memilihkan TK Swastiastu untuk Sri Darma supaya bisa merasakan suasana belajar yang lebih banyak diisi dengan permainan.

Tahun 1974 Sri Darma mulai mengisi satu bangku di kelas nol kecil TK Swastiastu. Lantas berlanjut ke kelas nol besar. Hingga akhirnya lulus tahun 1976. Ia pun berhak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah dasar. Dia dimasukkan di SD Swastiastu, masih dilingkungan dan satu payung dengan yang di TK, Yayasan Swastiastu. Jelas pilihan ini dibuat oleh sang ayah. Sri Darma hanya menurut. Karena yakin apa yang jadi pilihan ayahnya, pastilah yang terbaik untuknya.

"Alasan bapak menyekolahkan saya di Swastiastu, karena waktu itu sekolah Swastiastu memang yang paling bagus. Kedisiplinan ala sekolah Katolik benar-benar terasa di sana."

Tak ada istilah membangkang jika sudah menginjakkan kaki di sekolah Swastiastu. Karena mulai dari hal terkecil hingga terbesar semuanya sudah ada aturannya. Salah satu contohnya, pasti ada hukuman bagi mereka yang lupa membuat Pekerjaan Rumah (PR). Tak tanggung-tanggung, bentuk hukumannya berdiri di depan kelas sambil menjewer dua telinga, ditambah dengan menaikkan salah satu kaki. Sungguh memalukan. Karena jadi tontonan gratis bagi teman-teman satu kelas.

Saking memalukannya hukuman itu, sampai-sampai membuat Sri Darma tidak berani sekalipun lupa mengerjakan PR. Maka tak mengherankan kalau dia selalu terbebas dari hukuman yang memalukan itu. Namun tidak selamanya hukuman yang menjatuhkan harga diri itu mampu dihindarinya. Suatu hari, pernah pula dirasakan Sri Darma. Bukan karena dia mulai malas mengerjakan PR, tapi ketahuan menyontek saat ulangan. Hukuman yang diterimanya lebih memalukan ketimbang tidak mengerjakan PR.

Sejatinya tidak ada niatan Sri Darma menyontek. Itu terpaksa dilakukannya, karena dia tidak tahu akan ada ulangan Bahasa Indonesia. Ketidaktahuan inilah yang membuatnya sama sekali tidak belajar. Bisa dipastikan, tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dia jawab. Dengan sangat terpaksa, dia memilih jalan pintas menyontek pada teman sebangku supaya lembar jawabannya terisi. Ternyata, teman sebangkunya yang seorang perempuan itu tak suka dengan aksi menyontek Sri Darma. Ketidaksukaan itu dilampiaskan dengan cara melapor ke guru yang sedang mengawasi ulangan. "Pak Guru, ini Gede (Maksudnya Sri Darma) mau menyontek," ujar Sri Darma menirukan ucapan teman sebangkunya tersebut.

Laporan dari temannya inilah yang membuat Sri Darma harus menahan malu karena distrap, dihukum sepanjang jam pelajaran di depan kelas. Beruntung hukuman yang memalukan ini jadi yang pertama dan terakhir. Setelah kejadian itu, tak berani lagi dia melakukan aksi menyontek. Ada Hikmah yang diperolehnya atas kejadian tersebut. Sri Darma semakin disiplin belajar, meskipun ada atau tidaknya ulangan. Tergambar sangat jelas, segala bentuk kedisiplinan yang didapatnya selama bersekolah di Swastiastu kelak akan mampu membentuk karakternya menjadi lebih baik.

Namun di sisi lain, bentuk-bentuk kedisiplinan yang diperolehnya di sekolah Swastiastu harus ditebus dengan harga mahal dan sekaligus menguntungkan baginya. Ini terkait dengan latar belakang sekolah yang Katolik. Jadinya, segala interaksi yang terjadi di sekolah Swastiastu bernuansakan Katolik. Entah itu berdoa, pelajaran, maupun para pengajarnya. Supaya tidak sampai terpikat pada ajaran agama Katolik, sang ayah bertekad, semua pengalaman keagamaan yang diterima Sri Darma di sekolahnya, tidak sampai memudarkan kehinduannya yang sudah melekat sejak dalam kandungan. Karena itu, setibanya di rumah dia meminta supaya Sri Darma membayar lunas keterbatasannya mengekpresikan jati diri kehinduan di sekolah. Sambereg meminta Sri Darma supaya semakin rajin mendengarkan ajaran-ajaran agama yang banyak berisikan tentang nilai-nilai kehidupan kehinduan.

Jika dilihat dengan seksama, menurut Sri Darma saat itu, sesungguhnya tak ada perbedaan antara ajaran Katolik dengan Hindu. Apa yang diajarkan di Hindu juga ada di Katolik, yaitu sama-sama mengedepankan kebaikan. Sekalipun dengan penyebutan serta cara yang berbeda. Itulah yang dirasakan oleh Sri Darma setelah semakin patuh mendengarkan ajaran-ajaran agama Hindu, seperti yang diminta oleh ayahnya. Setidaknya perasaan seperti inilah yang membawanya bisa lebih nyaman dan tidak terbebani bersekolah dan lebih-lebih berinteraksi dengan kawan-kawan lain agama selama mengenyam bangku sekolah dasar.

Adanya rasa nyaman dan tak terbebani itu, juga dipengaruhi oleh keramahan serta kedekatan yang ditunjukkan para guru. Itulah yang menjadi nilai tambah, sehingga Sri Darma betul-betul merasakan adanya kelegaan masuk di Sekolah Swastiastu.

"Semua guru di Swastiastu itu dekat dengan siswa-siswanya. Sampai sekarangpun, saya masih menaruh rasa hormat kalau bertemu dengan guru-guru Swastiastu. Karena guru-guru di Swastiastu itu sangat perhatian pada para siswa. Buktinya, semua nama siswa pasti diingatnya. Ini sangat menyentuh."  (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016