Denpasar (Antara Bali) - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali Cokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, semakin marak objek wisata hiburan malam di Pulau Dewata akan berdampak terhadap perilaku masyarakat setempat.
"Memang hiburan malam menjadi tren saat ini. Tapi saya ada kekhawatiran ke depannya," katanya di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, menjadi penyebab pergeseran wisatawan yang datang ke Bali. Meski dari hasil survei separuh lebih turis yang datang ke Pulau Dewata masih ingin menikmati atraksi budaya, namun tak sedikit pula yang datang ingin menikmati kebebasan di Pulau Bali.
"Ini salah satu yang menyebabkan pergeseran wisatawan datang ke Bali. Dari survei yang sudah dilakukan, 50 persen, bahkan 65 persen tujuan ke Bali itu memang untuk budaya," katanya.
"Budaya itu tidak melulu dicerminkan dengan pura atau upacara adat, karena perilaku, nilai-nilai yang dijunjung tinggi, keramah-tamahan, itu yang membuat 65 persen orang datang ke Bali," katanya.
Hanya saja, kata dia, jika obyek yang menggeser pariwisata Bali berbasis budaya terus dibiarkan, bukan tak mungkin pariwisata Bali akan mengalami pergeseran nilai.
"Kalau sekarang akhirnya dibuat obyek-obyek yang menggeser nilai-nilai budaya itu, ini menjadi mengerdilkan budaya dan memberikan ruang-ruang nilai baru masuk ke Bali," ujarnya.
Investor memang wajar membangun fasilitas-fasilitas yang mendatangkan uang dengan segera. Tapi dalam hal ini pemerintah yang mengatur keseimbangan ini.
"Kalau kita serahkan kepada investor saja, misalnya membangun diskotek, karaoke, ketika persaingan tidak seimbang, kan akan terjadi banting-bantingan harga, banting-bantingan fasilitas, menjual kebebasan, tujuannya agar investasinya kembali. Ini ke sana persoalannya," ujar tokoh Puri Ubud, Gianyar.
Cokorda Artha Ardana mengaku sudah mengingatkan sejak lama mengenai hal tersebut. Yakni membangun fasilitas penunjang pariwisata yang berlebihan.
"Saya dari dulu sudah khawatirkan hal ini akan terjadi di Bali. Saya sudah prediksi. Tapi ketika saya sampaikan hal ini saya dibilang apriori. Tapi akhirnya kan sekarang jadi fakta," ujar dia.
Ia mengatakan, dampak persaingan harga lantaran tak diatur oleh pemerintah secara zonasi terasa betul bagi para investor.
"Katakanlah persaingan harga, ini kan soal zonasi. Bagaimana bisa hotel-hotel yang kelasnya di atas Rp3 juta yang bintang lima, bintang empat. Tapi ada hotel yang budget-nya Rp300 ribu per malam di tempat yang sama," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Memang hiburan malam menjadi tren saat ini. Tapi saya ada kekhawatiran ke depannya," katanya di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, menjadi penyebab pergeseran wisatawan yang datang ke Bali. Meski dari hasil survei separuh lebih turis yang datang ke Pulau Dewata masih ingin menikmati atraksi budaya, namun tak sedikit pula yang datang ingin menikmati kebebasan di Pulau Bali.
"Ini salah satu yang menyebabkan pergeseran wisatawan datang ke Bali. Dari survei yang sudah dilakukan, 50 persen, bahkan 65 persen tujuan ke Bali itu memang untuk budaya," katanya.
"Budaya itu tidak melulu dicerminkan dengan pura atau upacara adat, karena perilaku, nilai-nilai yang dijunjung tinggi, keramah-tamahan, itu yang membuat 65 persen orang datang ke Bali," katanya.
Hanya saja, kata dia, jika obyek yang menggeser pariwisata Bali berbasis budaya terus dibiarkan, bukan tak mungkin pariwisata Bali akan mengalami pergeseran nilai.
"Kalau sekarang akhirnya dibuat obyek-obyek yang menggeser nilai-nilai budaya itu, ini menjadi mengerdilkan budaya dan memberikan ruang-ruang nilai baru masuk ke Bali," ujarnya.
Investor memang wajar membangun fasilitas-fasilitas yang mendatangkan uang dengan segera. Tapi dalam hal ini pemerintah yang mengatur keseimbangan ini.
"Kalau kita serahkan kepada investor saja, misalnya membangun diskotek, karaoke, ketika persaingan tidak seimbang, kan akan terjadi banting-bantingan harga, banting-bantingan fasilitas, menjual kebebasan, tujuannya agar investasinya kembali. Ini ke sana persoalannya," ujar tokoh Puri Ubud, Gianyar.
Cokorda Artha Ardana mengaku sudah mengingatkan sejak lama mengenai hal tersebut. Yakni membangun fasilitas penunjang pariwisata yang berlebihan.
"Saya dari dulu sudah khawatirkan hal ini akan terjadi di Bali. Saya sudah prediksi. Tapi ketika saya sampaikan hal ini saya dibilang apriori. Tapi akhirnya kan sekarang jadi fakta," ujar dia.
Ia mengatakan, dampak persaingan harga lantaran tak diatur oleh pemerintah secara zonasi terasa betul bagi para investor.
"Katakanlah persaingan harga, ini kan soal zonasi. Bagaimana bisa hotel-hotel yang kelasnya di atas Rp3 juta yang bintang lima, bintang empat. Tapi ada hotel yang budget-nya Rp300 ribu per malam di tempat yang sama," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016