Denpasar (Antara Bali) - Sekretaris Komisi I DPRD Bali Dewa Nyoman Rai kecewa dengan sikap pemerintah provinsi telah melepas aset tanah di kawasan Hotel Bali Hyatt Sanur, Kota Denpasar.
"Pelepasan aset tanah di kawasan Hotel Bali Hyatt oleh Pemprov Bali diduga ada permainan yang tak terbuka. Padahal aset pemprov di kawasan hotel itu berupa tanah DN 71 dan DN 72," katanya di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan pelepasan aset tanah tersebut dari pihak anggota DPRD Bali tidak pernah diajak membahas.
Pemprov Bali memutuskan melepaskan aset tersebut hanya berselang beberapa hari usai DPRD Bali mengeluarkan rekomendasi yang berisi 13 aset Pemprov Bali yang masih bermasalah pada Februari 2016. Salah satunya adalah aset di Hotel Hyatt.
Menurut Dewa Rai, semestinya aset-aset tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut untuk menuntaskan berbagai masalah yang ada. Bahkan Pansus Aset DPRD Bali tidak mengeluarkan rekomendasi untuk melepas aset tersebut.
Pada Februari lalu, Kepala Biro Aset Setda Provinsi Bali Ketut Adiarsa mengatakan dari 13 aset temuan dari DPRD Bali, tanah DN 71 dan DN 72 (Hotel Bali Hyatt) bukan lagi kewenangan Pemerintah Provinsi Bali karena pemprov tidak memiliki sertifikat dan bukti kepemilikan dari aset tersebut. Yang lainnya, seperti HGU 2 dan HGU 3 PT Margarana masih berpolemik dengan masyarakat.
Alasan Pemprov Bali ini tidak bisa diterima oleh Dewa Rai. Karena masih banyak aset Pemprov yang belum bersertifikat. Apakah aset-aset itu harus dilepas karena tidak ada sertifikatnya.
"Jangan-jangan sudah banyak aset yang belum bersertifikat sudah dilepas. Aset yang belum bersertifikat itu merupakan salah satu masalah dalam pengelolaan aset yang harus diselesaikan," ujar politikus PDIP ini.
Dewa Rai menjelaskan, pelepasan aset daerah harus mengacu kepada UU Nomor 1 Tahun 2014 dan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
"Aturan itu menyebutkan bahwa aset daerah dengan nilai di atas Rp5 miliar ketika `dipihakketigakan` harus mendapat persetujuan DPRD. Kami tidak pernah memberi persetujuan untuk melepaskan aset itu," ucapnya.
Sebagai bentuk perlawanan keputusan Pemprov Bali melepaskan aset tersebut, Komisi I DPRD Bali akan melakukan peninjauan atau inspeksi mendadak ke Hotel Bali Hyatt.
"Besok kami akan turun melihat langsung ke kawasan Hotel Bali Hyatt," kata Dewa Rai.
Ia mengatakan peninjauan itu untuk menindaklanjuti hasil rapat Pansus Aset DPRD Bali pada Oktober 2013, yang melibatkan Pemprov Bali, Wali Kota Denpasar yang diwakili Kepala Dinas Perizinan, dan BPN Bali, yang memutuskan aset Pemprov di Hotel Hyatt itu "status quo".
"Artinya tidak boleh ada aktivitas apa pun di atas aset itu sampai masalah tersebut benar-benar selesai. Makanya kami akan meninjau lokasi ke sana," tegasnya, seraya menambahkan Pansus Aset yang dibentuk tahun 2015 tidak pernah melakukan sidak ke Hotel Hyatt.
Rencana peninjauan atau sidak itu juga dibenarkan oleh Ketua Komisi I DPRD Bali I Ketut Tama Tenaya.
"Ya, besok kami rencana sidak ke sana. Tapi saya tidak bisa hadir. Bapak Dewa Rai yang memimpin sidak," kata Tama Tenaya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pelepasan aset tanah di kawasan Hotel Bali Hyatt oleh Pemprov Bali diduga ada permainan yang tak terbuka. Padahal aset pemprov di kawasan hotel itu berupa tanah DN 71 dan DN 72," katanya di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan pelepasan aset tanah tersebut dari pihak anggota DPRD Bali tidak pernah diajak membahas.
Pemprov Bali memutuskan melepaskan aset tersebut hanya berselang beberapa hari usai DPRD Bali mengeluarkan rekomendasi yang berisi 13 aset Pemprov Bali yang masih bermasalah pada Februari 2016. Salah satunya adalah aset di Hotel Hyatt.
Menurut Dewa Rai, semestinya aset-aset tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut untuk menuntaskan berbagai masalah yang ada. Bahkan Pansus Aset DPRD Bali tidak mengeluarkan rekomendasi untuk melepas aset tersebut.
Pada Februari lalu, Kepala Biro Aset Setda Provinsi Bali Ketut Adiarsa mengatakan dari 13 aset temuan dari DPRD Bali, tanah DN 71 dan DN 72 (Hotel Bali Hyatt) bukan lagi kewenangan Pemerintah Provinsi Bali karena pemprov tidak memiliki sertifikat dan bukti kepemilikan dari aset tersebut. Yang lainnya, seperti HGU 2 dan HGU 3 PT Margarana masih berpolemik dengan masyarakat.
Alasan Pemprov Bali ini tidak bisa diterima oleh Dewa Rai. Karena masih banyak aset Pemprov yang belum bersertifikat. Apakah aset-aset itu harus dilepas karena tidak ada sertifikatnya.
"Jangan-jangan sudah banyak aset yang belum bersertifikat sudah dilepas. Aset yang belum bersertifikat itu merupakan salah satu masalah dalam pengelolaan aset yang harus diselesaikan," ujar politikus PDIP ini.
Dewa Rai menjelaskan, pelepasan aset daerah harus mengacu kepada UU Nomor 1 Tahun 2014 dan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
"Aturan itu menyebutkan bahwa aset daerah dengan nilai di atas Rp5 miliar ketika `dipihakketigakan` harus mendapat persetujuan DPRD. Kami tidak pernah memberi persetujuan untuk melepaskan aset itu," ucapnya.
Sebagai bentuk perlawanan keputusan Pemprov Bali melepaskan aset tersebut, Komisi I DPRD Bali akan melakukan peninjauan atau inspeksi mendadak ke Hotel Bali Hyatt.
"Besok kami akan turun melihat langsung ke kawasan Hotel Bali Hyatt," kata Dewa Rai.
Ia mengatakan peninjauan itu untuk menindaklanjuti hasil rapat Pansus Aset DPRD Bali pada Oktober 2013, yang melibatkan Pemprov Bali, Wali Kota Denpasar yang diwakili Kepala Dinas Perizinan, dan BPN Bali, yang memutuskan aset Pemprov di Hotel Hyatt itu "status quo".
"Artinya tidak boleh ada aktivitas apa pun di atas aset itu sampai masalah tersebut benar-benar selesai. Makanya kami akan meninjau lokasi ke sana," tegasnya, seraya menambahkan Pansus Aset yang dibentuk tahun 2015 tidak pernah melakukan sidak ke Hotel Hyatt.
Rencana peninjauan atau sidak itu juga dibenarkan oleh Ketua Komisi I DPRD Bali I Ketut Tama Tenaya.
"Ya, besok kami rencana sidak ke sana. Tapi saya tidak bisa hadir. Bapak Dewa Rai yang memimpin sidak," kata Tama Tenaya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016