Suara seruling menghentak malam gerimis di Taman Budaya Art Centre, Kota Denpasar, mengawali pementasan kesenian tradisional Cakepung dari Sanggar Seni Citta Wistara, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali.

Kesenian yang memiliki pakem khas, dengan beragam bunyi-bunyian yang dihasilkan dari mulut ini, berhasil menarik perhatian pengunjung yang datang dalam acara Bali Mandara Mahalango III.

"Tahun lalu, kami berpentas di Bali Mandara Mahalango III dengan menyertakan seniman anak-anak muda dan kalangan tua sehingga ada regenerasi," ujar Ida Wayan Oka Adnyana, Ketua Sanggar Citta Wistara Desa Budakeling.

Terbentuknya kesenian Cakepung di Desa Budakeling, tidak lepas dari sejarah kemenangan Raja Karangasem A.A. Anglurah Karangasem melawan suatu kerajaan di Lombok. A.A. Anglurah Karangasem kemudian menguasai wilayah Lombok dan memiliki keinginan membawa seni Sasakan atau Cakepung ke Karangasem.

Guna mewujudkan keinginannya, A.A. Anglurah Karangasem kemudian mengajak tiga orang seniman yang berasal dari Budakeling untuk berangkat ke Lombok. Ketiga seniman itu adalah Ida Wayan Oka Tangi, Ida Made Putu, dan Ida Ketut Rai yang masing-masing memiliki tugas tersendiri.

Ida Wayan Oka Tangi bertugas mempelajari lontar Monyeh dan pupuhnya; Ida Made Putu giat belajar sesulingan; Ida Ketut Rai dalam waktu sekejap bisa menguasai rebab. Ketiganya sama-sama menguasai lontar Monyeh, sesulingan, dan rebab dengan penguasaan yang mumpuni.

Pupuh yang digunakan dalam seni Sasakan menggunakan macepat. Sulingnya lazim disebut sebagai "Sesulingan Ladrangan" yang mempunyai lima lubang.

Setelah mahir, ketiga seniman itu kembali lagi ke Budakeling dan mengembangkan seni Sasakan di Karangasem. Dalam perkembangannya, seni Sasakan ini kemudian dimodifikasi Ida Wayan Oka Tangi beserta saudaranya dengan menambahkan "pengecek". Pengecek merupakan pengulangan kembali pupuh macepat dalam bentuk nada yang lebih bergairah menggunakan mulut.

Setelah dimodifikasi, kesenian Sasakan ini berubah nama menjadi Cakepung. Terdapat perbedaan antara seni Sasakan yang berkembang di Lombok dengan Cakepung di Karangasem. Cakepung memiliki pengecek sehingga dalam pementasannya ada suasana yang gembira. Sementara itu, seni Sasakan hanya sebatas membaca macepat tanpa pengecek.

Di Budakeling, Cakepung memiliki fungsi strategis sebagai media menanamkan rasa kebersamaan. Cakepung biasa ditampilkan ketika ada Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, atau Pitra Yadnya. Saat itu seniman Cakepung akan datang tanpa diundang. Usai pertunjukan Cakepung, kemudian biasa diikuti makan bersama. Di sinilah suasana kebersamaan itu terlihat.

      
                Lakon Monyeh
Kesenian Cakepung belakangan sudah jarang ditampilkan di berbagai wilayah di Karangasem. Meski demikian, seniman Budakeling tetap berupaya mempertahankan pelestariannya. Generasi ketiga yang kini melestarikan Cakepung di Budakeling, antara lain, Ida Made Basma, Ida Wayan Gede, Ida Nyoman Cundi, Ida Made Adi Putra, Ida Wayan Oka Adnyana, dan sejumlah nama lainnya.

Berbagai inovasi dilakukan agar kesenian ini lebih diterima masyarakat. Misalnya, dengan menambah jumlah penari sesuai dengan lakon Monyeh yang menjadi untaian cerita dalam pertunjukan ini.

Pada lakon Monyeh ini terdapat pemain yang berperan sebagai raja, Diah Winangsia, Raden Kitab Muncar, Raden Una, Bibi Inaq Rangda, dan seseorang yang berperan sebagai monyet. Penambahan pemain ini agar menambah daya tarik pertunjukan.

Rangkain cerita lakon Monyeh mengisahkan tentang tiga raja bersaudara. Masing-masing raja di Indrapandita, Layangsari, dan Indrasekar. Raja di Indrapandita memiliki sembilan putri. Putri bungsu yang bernama Diah Winangsia mempunyai paras yang amat jelita.

Kecantikan Diah Winangsia membuat kakak-kakaknya menjadi iri dan membuat berbagai fitnah kepada raja. Akhirnya, raja menjadi marah dan mengasingkan Diah Winangsia ke taman, diiringi seorang inang pengasuh bernama Inaq Rangda. Sehari-hari, Diah Winangsia menghabiskan waktu dengan melukis, salah satunya melukiskan wajahnya sendiri.

Suatu ketika, lukisan ini diterbangkan angin dan ditemukan pangeran dari Indrasekar, Raden Witarasasi atau Raden Una. Akhirnya, Raden Una berangkat mencari Diah Winangsia dan ketika bertemu, dia menjadi jatuh hati. Agar bisa mendekati Diah Winangsia, Raden Una diubah kakaknya, Raden Kitab Muncar, menjadi seekor monyet yang kemudian menghamba kepada Diah Winangsia.

Ketika penyamaran itu terbongkar, Diah Winangsia sempat marah. Namun, Raden Una mengatakan alasannya jika dirinya jatuh hati pada Diah Winangsia dan ingin meminang menjadi istrinya. Diah Winangsia akhirnya luluh dan membalas perasaan Raden Una. Pasangan Diah Winangsia dan Raden Una kemudian menikah dan hidup berbahagia.

"Kami sudah sering berpentas sehingga tidak memerlukan waktu latihan yang lama untuk tampil kali ini. Kami bahkan sudah tampil di sejumlah kota besar di Indonesia dan juga pernah diundang berpentas di Jepang," ujar I Ketut Suarjaya, anggota sekaa Cakepung Citta Wistara.

Pementasan Cakepung dalam acara Bali Mandara Mahalango III, ibarat perjalanan yang menyejukkan masyarakat. Kesenian ini mampu menghibur sehingga pementasannya ditunggu-tunggu. Kursi-kursi penonton terlihat penuh dan hingga akhir pertunjukan, nyaris tidak ada yang beranjak.

Ketika Raden Una dan Diah Winangsia bisa bersatu sebagai sepasang suami istri, ekspresi gembira terlihat di wajah-wajah pengunjung sehingga tepuk tangan pun membahana pada malam yang berseling gerimis itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Prov Bali Dewa Beratha menyatakan bahwa Bali Mandara Mahalango III ini memiliki tujuan untuk memberi ruang berkesenian bagi seniman belum berkesempatan tampil dalam ajang Pesta Kesenian Bali sebelumnya.

Tema kegiatan tahun ini adalah "Dinamika Seni Budaya Menuju Kesejahteraan, Kemajuan, dan Keanggunan Peradaban Bali".

Selain memberi ruang bagi seniman, kegiatan Bali Mandara Mahalango III juga untuk lebih memaksimalkan fungsi dari Taman Budaya Art Center. (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016