Denpasar (Antara Bali) - Anggota DPRD Bali Nyoman Tirthawan mendesak Pemerintah Kabupaten Karangasem dan instansi terkait untuk melakukan pembinaan serta menertibkan "guide" atau pemandu wisata lokal di kawasan Pura Besakih, karena mereka tidak sepenuhnya menjalankan aturan yang ada.

"Saya berharap Pemkab Karangasem dan instansi terkait melakukan pembinaan dan penertiban terhadap `guide` lokal, karena banyak pemandu wisata yang melakukan pelanggaran terhadap aturan bagi pengunjung wisata," katanya di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan kunjungan wisatawan ke kawasan wisata ke Pura Agung Besakih terus mengalami penurunan, sebab pelayanan bagi wisatawan di sana termasuk kategorinya kurang baik.

"Banyak wisatawan nusantara dan asing yang mengeluh dengan pelayanan para `guide` lokal. Bahkan melakukan pemaksaan untuk membayar atas jasanya dengan harga yang tidak sesuai dengan aturan atau harga tinggi," ucapnya.

Jika terus dibiarkan para pemandu lokal beraktivitas tidak sesuai dengan peraturan untuk memasuki areal pura (mandala utama), maka kawasan yang sangat disucikan bagi umat Hindu akan kotor secara spiritual.

"Pemerintah melalui Dinas Pariwisata sudah membuat papan pengumuman larangan bagi wisatawan untuk memasuki areal utama pura (utama mandala), apabila beralangan (datang bulan) dan tidak melakukan sembahyang. Tetapi justru para `guide` lokal mengizinkan memasuki areal utama mandala tersebut," ujarnya.

Tirthawan mengatakan dengan kenyataan seperti itu, jangan menyalahkan wisatawan yang masuk ke areal yang sangat disakralkan, seperti pelataran Padma Tiga Pura Agung Besakih. Sebab para "guide" itu memberikan dan mengajak masuk ke areal tersebut.

"Kalau seperti itu keadaannya. Siapa yang salah? Jangan hanya di tatanan konsep saja mengatakan menjaga kesucian pura dengan `Tri Hita Karana`. Tapi di sisi lain justru membiarkan wisatawan dengan seenaknya masuk ke tempat yang disakralkan," katanya.

Artana, seorang umat Hindu yang berdomisili di Solo, Jawa Tengah mengaku kecewa sikap pemandu wisata lokal melakukan pembiaran para wisatawan dengan leluasa memasuki areal sakral di Pura Besakih.

"Saya kecewa dengan pemandu lokal dengan gampangnya mengajak masuk para wisatawan ke areal yang disakralkan. Ini sebenarnya ulah dari "guide" lokal untuk mendapatkan keuntungan semata. Tetapi tidak memikirkan dampak ke depannya, termasuk kegiatan ritual yang selama ini dilakukan untuk menyucikan secara spiritual kawasan itu," ucapnya.

Ia membandingkan dengan objek wisata lain, misalnya di kawasan Pura Tanah Lot, Kabupaten Tabanan. Para wisatawan bisa menyaksikan keagungan pura di tengah laut itu. Tetapi untuk masuk ke areal utama (utama mandala) hanya bagi umat yang bersembahyang saja, Begitu juga di Pura Luhur Uluwatu (Badung).

"Objek wisata di kedua pura tersebut kunjungan wisatawannya terus meningkat. Tetapi para turis tidak diizinkan masuk, kecuali untuk umat yang bersembahyang. Karena pengelola wisatanya tegas, jika pemandu wisata berani melanggar maka akan diberi sanksi perusahaannya," ujar Artana.

Semestinya, kata dia, para pemandu wisata harus taat dengan aturan tersebut di kawasan Pura Besakih. Jika ingin objek wisata tersebut tetap eksis, maka semua pemandu pelancong mentaati aturan, disamping juga tidak menganggu kekhusyukan umat Hindu melakukan ritual persembahyangan.

"Dengan kondisi pembiaran para wisatawan memasuki kawasan sakral. Tentu umat yang bersembahyang merasa terganggu. Apalagi para wisatawan dipaksa untuk melakukan pemotretan dengan latarbelakang Padma Tiga, yang ujung-ujungnya fotonya dijual dengan mahal. Belum lagi alasan lain, apakah wisatawan itu tidak `cuntaka` (datang bulan)? Ini jelas telah menodai kesucian pura," katanya.

Artana juga kecewa dengan para pemandu wisata lokal itu, karena ketika diberi saran untuk mentaati aturan yang terpampang di papan pengumuman itu, malah "guide" lokal itu menantang dengan gertakan dan kata-kata yang tidak sopan.

"Saya kecewa berat dengan para pemandu wisata itu. Mereka diberi saran agar mentaati aturan malah mereka menantang dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di pura. Mereka sembari menunjukkan kartu pemandu wisata, dan menyebut pura ini siapa saja boleh masuk. Jangan bapak kesini menceramahi saya. Ini urusan desa kami," ujarnya.

Dengan kondisi seperti itu di kawasan Pura Besakih, kata dia, seharusnya pemerintah berani bersikap tegas terhadap pemandu wisata lokal tersebut. Dan pemerintah jangan mengeksploitasi pura di Bali semata-mata menjadi objek wisata.

"Tapi harus dikaji juga bagaimana perasaan umat Hindu jika ada wisatawan dengan seenaknya berpakaian santai, terus melakukan pemotretan di tempat yang disakralkan. Seandai nantinya diungguh di media sosial, baru kita ribut-ribut dibilang melecehkan. Sebenarnya dengan kondisi seperti ini siapa yang melecehkan, khan kita sendiri memberikan mereka secara leluasa untuk ke areal sakral," katanya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016