Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar kembali menggelar pemutaran film Sinema Bentara mengusung tema "Kisah Cinta Lintas Masa".
"Pemutaran film tersebut dengan konsep nonton bareng ala Pasar Misbar selama tiga hari, 10-12 Juni 2016," kata penata kegiatan tersebut Juwitta Lasut di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, kegiatan tersebut dapat terlaksana berkat kerja sama Bentara Budaya Bali dengan Sinematek Indonesia, Pusat Kebudayaan Prancis Alliance Francaise de Bali, Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien dan Udayana Science Club.
Cerita tentang cinta tak kunjung selesai diurai dalam sinema. Melalui beragam genre, lahirlah film-film lintas masa yang bertutur tentang hubungan kasih anak manusia, entah berakhir bahagia, tragedi, atau semata cinta tak sampai.
Juwitta Lasut menambahkan, tema cinta memang menarik bagi publik, terutama yang berangkat dari pengalaman nyata bersifat personal sekaligus universal.
"Kami juga mencatat berbagai kisah cinta yang abadi, semisal Romeo dan Juliet karya sastrawan William Shakespeare (Inggris), yang terbukti diadaptasi berulang ke dalam aneka wujud seni. Kisah Layon Sari dan Jayaprana pun demikian ditampilkan dalam berbagai pertunjukan dan bidang seni lainnya," ujar Juwitta Lasut.
Judul film "Ada Apa Dengan Cinta?" (Rudi Soedjarwo, 2002) merupakan salah satu film bertema cinta yang sukses di industri film Indonesia, terbukti dengan berbagai penghargaan yang diraihnya.
Salah satunya Penghargaan Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004. Sekuel kedua dari AADC, yakni AADC2 (Riri Reza, 2016) juga merupakan sebuah fenomena dengan keberhasilannya menarik jumlah penonton hingga tiga jutaan lebih.
Juwitta Lasut menjelaskan, jauh sebelum kisah romantika Rangga dan Cinta lahir dari film Ada Apa Dengan Cinta?, film-film bertema serupa sesungguhnya sudah mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1970-an lewat karya-karya sutradara sohor kala itu.
Penonton tahun 1980-an juga tak akan melupakan kisah melankoli pasangan ikonik Galih dan Ratna lewat film Gita Cinta dari SMA (1979, Arizal) yang diperankan oleh Rano Karno dan Yessi Gusman.
Film yang diputar kali ini merupakan film fiksi arahan sutradara dalam negeri dan juga lintas bangsa. Melalui acara ini dapat membandingkan bagaimana sutradara-sutradara mumpuni Indonesia semisal Wim Umboh, Teguh Karya, Arizal, Rudi Soedjarwo berikut sutradara peraih banyak Oscar dari Perancis, Michel Hazanavicius, menyuguhkan kisah kasih dalam berbagai latar serta keunikan jalinan cerita masing-masing.
"Kisah yang dihadirkan tidak sekadar roman picisan ala remaja, namun juga menyiratkan pergulatan batin sang tokoh, serta mengandung refleksi kehidupan yang mendalam," ungkap Juwitta Lasut.
Judul film yang diputar antara lain Pengantin Remaja (Indonesia, 1971, Wim Umboh), Cinta Pertama (Indonesia, 1973, Teguh Karya), Badai Pasti Berlalu (Indonesia, 1977, Teguh Karya), Gita Cinta dari SMA (Indonesia, 1979, Arizal), Ada Apa Dengan Cinta (Indonesia, 2002, Rudi Soedjarwo), The Artist (Prancis, 2011, Michel Hazanavicius) dan Lila Lila (German, Alain Gsponer, 108 menit, 2008/09). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pemutaran film tersebut dengan konsep nonton bareng ala Pasar Misbar selama tiga hari, 10-12 Juni 2016," kata penata kegiatan tersebut Juwitta Lasut di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, kegiatan tersebut dapat terlaksana berkat kerja sama Bentara Budaya Bali dengan Sinematek Indonesia, Pusat Kebudayaan Prancis Alliance Francaise de Bali, Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien dan Udayana Science Club.
Cerita tentang cinta tak kunjung selesai diurai dalam sinema. Melalui beragam genre, lahirlah film-film lintas masa yang bertutur tentang hubungan kasih anak manusia, entah berakhir bahagia, tragedi, atau semata cinta tak sampai.
Juwitta Lasut menambahkan, tema cinta memang menarik bagi publik, terutama yang berangkat dari pengalaman nyata bersifat personal sekaligus universal.
"Kami juga mencatat berbagai kisah cinta yang abadi, semisal Romeo dan Juliet karya sastrawan William Shakespeare (Inggris), yang terbukti diadaptasi berulang ke dalam aneka wujud seni. Kisah Layon Sari dan Jayaprana pun demikian ditampilkan dalam berbagai pertunjukan dan bidang seni lainnya," ujar Juwitta Lasut.
Judul film "Ada Apa Dengan Cinta?" (Rudi Soedjarwo, 2002) merupakan salah satu film bertema cinta yang sukses di industri film Indonesia, terbukti dengan berbagai penghargaan yang diraihnya.
Salah satunya Penghargaan Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004. Sekuel kedua dari AADC, yakni AADC2 (Riri Reza, 2016) juga merupakan sebuah fenomena dengan keberhasilannya menarik jumlah penonton hingga tiga jutaan lebih.
Juwitta Lasut menjelaskan, jauh sebelum kisah romantika Rangga dan Cinta lahir dari film Ada Apa Dengan Cinta?, film-film bertema serupa sesungguhnya sudah mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1970-an lewat karya-karya sutradara sohor kala itu.
Penonton tahun 1980-an juga tak akan melupakan kisah melankoli pasangan ikonik Galih dan Ratna lewat film Gita Cinta dari SMA (1979, Arizal) yang diperankan oleh Rano Karno dan Yessi Gusman.
Film yang diputar kali ini merupakan film fiksi arahan sutradara dalam negeri dan juga lintas bangsa. Melalui acara ini dapat membandingkan bagaimana sutradara-sutradara mumpuni Indonesia semisal Wim Umboh, Teguh Karya, Arizal, Rudi Soedjarwo berikut sutradara peraih banyak Oscar dari Perancis, Michel Hazanavicius, menyuguhkan kisah kasih dalam berbagai latar serta keunikan jalinan cerita masing-masing.
"Kisah yang dihadirkan tidak sekadar roman picisan ala remaja, namun juga menyiratkan pergulatan batin sang tokoh, serta mengandung refleksi kehidupan yang mendalam," ungkap Juwitta Lasut.
Judul film yang diputar antara lain Pengantin Remaja (Indonesia, 1971, Wim Umboh), Cinta Pertama (Indonesia, 1973, Teguh Karya), Badai Pasti Berlalu (Indonesia, 1977, Teguh Karya), Gita Cinta dari SMA (Indonesia, 1979, Arizal), Ada Apa Dengan Cinta (Indonesia, 2002, Rudi Soedjarwo), The Artist (Prancis, 2011, Michel Hazanavicius) dan Lila Lila (German, Alain Gsponer, 108 menit, 2008/09). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016