Jakarta (Antara Bali) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan enam temuan permasalahan dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015 kepada Presiden di Istana Negara Jakarta, Senin, mengatakan ada enam permasalahan yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2015 yang menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP.
"Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan tehasap ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.
Permasalahan tersebut yakni saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1.800,93 triliun yang di antaranya sebesar Rp848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya sejak 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi merapkan sistem itu padahal OJK mewajibkan PLN untuk menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
"Sebagai akibatnya BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada," katanya.
Masalah kedua yang ditemukan BPK yakni pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya sebesar Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana tersebut.
Selanjutnya masalah terkait piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Masalah keempat yakni persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah terkait pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.
Temuan yang keenam yakni koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas sebesar Rp96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
"Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang," kata Harry. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Ketua BPK Harry Azhar Aziz saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015 kepada Presiden di Istana Negara Jakarta, Senin, mengatakan ada enam permasalahan yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2015 yang menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP.
"Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan tehasap ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.
Permasalahan tersebut yakni saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1.800,93 triliun yang di antaranya sebesar Rp848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya sejak 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi merapkan sistem itu padahal OJK mewajibkan PLN untuk menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
"Sebagai akibatnya BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada," katanya.
Masalah kedua yang ditemukan BPK yakni pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya sebesar Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana tersebut.
Selanjutnya masalah terkait piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Masalah keempat yakni persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah terkait pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.
Temuan yang keenam yakni koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas sebesar Rp96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
"Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang," kata Harry. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016